Para Perempuan Pengadil yang Dituntut Adil Jadi Ibu dan Istri

PIJAR-JAKARTA – Hukumonline disambut di lobi gedung Pengadilan Negeri (PN) Rangkasbitung di Kabupaten Lebak, Banten, Jum’at (13/1/2023) siang. Iriaty Khairul Ummah, Ketua PN Rangkasbitung didampingi para hakim lainnya: Rani Suryani Pustikasari dan Dwi Novita Purbasari. Hanya ada empat hakim yang bertugas di PN Rangkasbitung. Wakil Ketua PN Rangkasbitung Nur Ervianti Meliala sedang cuti saat Hukumonline berkunjung. Hal menarik pertama bagi Hukumonline adalah Hakim di PN Rangkasbitung ini semuanya perempuan.

Iriaty dan Rani mengenakan setelan celana panjang, sedangkan Tata (sapaan hakim Dwi Novita Purbasari) mengenakan rok panjang. Tiga hakim perempuan ini sedang di jam lengang bersidang. “Biasanya hari Jum’at memang kami kosongkan dari jadwal sidang,” kata Iriaty kepada Hukumonline. Hari Jum’at biasa ia gunakan untuk keperluan dinas lainnya termasuk menerima tamu.

Papan nama berisi daftar hakim di PN Rangkasbitung terpampang di lobi itu. Di papan tertera enam nama hakim. Ada dua nama hakim laki-laki, tetapi tertulis statusnya sedang keluar. “Mereka sedang nonaktif jadi tidak bertugas lagi. Tidak bisa kami cabut namanya karena masih hakim,” ujar Iriaty.

Dua hakim laki-laki itu sempat ramai diberitakan media massa tahun 2022 lalu karena terjerat masalah hukum. Belum ada penggantinya sejak mereka nonaktif terjeras kasus. “Idealnya ada enam atau delapan orang hakim untuk beban perkara di PN Rangkasbitung,” kata Rani saat Hukumonline bertanya padanya.

Iriaty mengajak Tim Hukumonline berbincang di ruangannya. Para hakim diajak serta berbincang dengan Hukumonline. Pimpinan bagian kesekretariatan dan kepaniteraan ikut hadir di awal untuk ramah tamah. Ruangan Iriaty luas dengan deretan sofa panjang khas untuk pimpinan di lembaga negara.

Ia mengaku baru enam bulan ditugaskan di PN Rangkasbitung sebagai Ketua Pengadilan. Sebelumnya, ia bertugas di Kalimantan Selatan. Rani juga baru dipindahkan dari Sumatera Barat ke PN Rangkasbitung sejak Februari 2021 disusul Tata yang dipindahkan dari Sumatera Selatan pada Februari 2022.

Hukumonline berbincang santai cukup panjang dengan para hakim perempuan itu ditemani suguhan teh manis dan camilan manis. Perbincangan itu diselingi banyak tawa dan bertukar canda. Rasa penasaran Hukumonline terutama bahwa para hakim ini rata-rata adalah Ibu dengan lebih dari satu orang anak. “Dukungan keluarga dan suami sangat berpengaruh bagi kami,” ujar Iriaty.

Mengandung dan Mengasuh di Ruang Sidang

“Saya mulai jadi hakim pada 5 September 2012,” kata Rani berbagi kisahnya. Ia masih ingat tanggal awal kariernya dimulai. Saat itu Rani baru saja melahirkan anak pertama setelah masa pendidikan calon hakim. Tepat 10 tahun kemudian pada September 2022 lalu Rani melahirkan anak keempat.

Cuti melahirkan yang Rani dapat untuk kelahiran anak keempat lalu hanya satu bulan alih-alih tiga bulan. Hal itu karena hak cuti melahirkan selama tiga bulan yang diakui untuk aparat negara hanya untuk tiga anak. Satu bulan masa cuti untuk anak keempat ia anggap cukup sekadar sampai selesai masa nifas.

Rani mengaku sungkan meminta dispensasi hak cuti melahirkan tiga bulan untuk kelahiran anak keempat. “Kondisi kantor sangat kurang hakim. Kalau saya tidak segera bertugas kasihan para pencari keadilan sudah jauh-jauh datang, tapi sidang ditunda,” kata Rani mantap.

Iriaty selaku atasan menilai upaya Rani sebagai hakim sekaligus ibu dan istri patut diacungi jempol. “Saya bingung sendiri melihat Bu Rani dengan perut besar masih berkendara sepeda motor sendiri dari rumah dinas ke Pengadilan,” kata Iriaty. Tiga anak Rani lainnya diasuh dengan bantuan asisten rumah tangga selama ibu mereka bekerja.

Alhamdulillah ada dukungan suami saya yang juga hakim di PN Pandeglang. Tidak jauh dari PN Rangkasbitung,” kata Rani. Ia mengaku tertolong dengan izin Mahkamah Agung untuk bisa dinas berdekatan bagi pasangan hakim. Anak tertuanya memasuki usia 11 tahun di kelas 5 Sekolah Dasar. Anak kedua berusia 9 tahun. Anak ketiganya memasuki usia 7 tahun. “Anak terakhir mau masuk usia empat, tapi empat bulan maksudnya,” kata Rani tertawa.

Pernah Rani harus mengantarkan anaknya yang bersekolah karena ojek langganan sedang berhalangan. “Bu Rani izin ke saya mau antar anaknya pakai sepeda motor dengan perut besarnya. Saya yang sesak napas tapi dia malah santai,” kata Iriaty berkelakar.

Puncak pengalaman Rani adalah masih masuk kantor untuk bersidang sehari sebelum melahirkan. Ia baru mengajukan izin memulai cuti di hari merasakan air ketuban sudah rembes dari rahimnya. “Subuh hari saya merasakan air ketuban keluar jadi sudah tidak bisa masuk kantor lagi. Hari itu saya melahirkan,” Rani mengenang. Rani sudah terbiasa melahirkan di rantau selama masa dinas di berbagai kota. Semuanya persalinan tanpa operasi.

Iriaty sendiri punya kisah mengasuh anak sambil bersidang. Sudah 20 tahun ia berkarier sebagai hakim. Pada saat yang sama Iriaty menjadi istri dan ibu untuk tiga anaknya. “Suami saya pegawai negeri di Kementerian Keuangan. Kami selalu berjauhan karena beda tempat dinas,” kata Iriaty. Perbedaan instansi berdinas membuatnya sulit berdekatan lokasi dinas dengan suaminya seperti yang Rani alami.

Ia harus merelakan berjauhan dengan suami sejak kehamilan pertamanya masuk usia 8 bulan. Suaminya pindah lokasi dinas berbeda dengan Iriaty. “Pilihan dari Kementerian Keuangan adalah suami saya segera pindah atau mengundurkan diri. Saya melahirkan tanpa didampingi suami,” ujarnya. Anak pertamanya sekarang sudah usia Sekolah Menengah Atas. Anak keduanya di usia Sekolah Menengah Pertama dan yang terakhir masih Sekolah Dasar.

“Saya pernah bawa anak ke ruang sidang saat bertugas di PN Pasuruan. Saat itu saya sedang tidak dapat tenaga pengasuh,” kenang Iriaty. Ia beruntung karena Ketua PN Pasuruan saat itu pengertian. Iriaty dibolehkan membawa anaknya ke belakang meja hakim sembari ia bersidang. Mainan anak-anak diletakkan untuk menemani sang buah hati menanti ibunya bertugas.

“Untungnya anak tidak rewel, dia bisa mengerti. Itu terjadi atas izin Ketua PN. Para pihak tidak bisa melihat karena meja hakim tinggi,” tuturnya. Ia yang bertugas membawa anak-anak ke berbagai lokasi dinasnya dan harus menjalani hidup berjauhan lokasi dengan suami.

Kemalingan Mengancam Nyawa

Tata satu-satunya hakim PN Rangkasbitung yang belum mengasuh anak. Suaminya juga hakim yang saat ini bertugas sebagai hakim yustisial di Mahkamah Agung. Mereka mau tidak mau harus hidup berjauhan lokasi dinas. “Awalnya saya berharap tugas di PN Rangkasbitung sebagai waktu yang pas untuk program kehamilan. Ternyata harus lebih sibuk,” kata Tata tertawa.

Sebagai hakim termuda, Tata mengaku paling siaga jika ditugasi para kolega senior. “Saya harus terima diberi kasus paling banyak seperti junior pada umumnya. Bukan begitu Bu Ketua?” kata Tata dengan ekspresi jenaka kepada Iriaty. Seisi ruangan dipenuhi tawa tiga hakim perempuan itu. Mereka sepertinya sudah saling menerima takdir senasib sepenanggungan.

Lalu, Tata buru-buru melanjutkan candaannya. “Menurut saya tidak ada masalah. Apalagi dengan kondisi saya tidak ada kesibukan mengasuh anak sepulang kantor,” kata dia. Tata mulai diangkat sebagai hakim sejak tahun 2014. Penampilannya paling modis dan energik, sehingga terlihat jelas sebagai yang paling muda. Tata bertugas sebagai Juru Bicara resmi PN Rangkasbitung selain sebagai hakim.

Ia termasuk rajin mengikuti kesempatan Pendidikan dan Pelatihan untuk hakim. Ia paling berminat dengan topik penangangan kasus narkotika. Meski biasa memutus perkara bagi pelaku kejahatan, Tata mengaku dua kali jadi korban kejahatan maling. “Rumah dinas hakim itu tidak ada petugas keamanan khusus. Jadi, jaga keamanan masing-masing,” kata Tata berkelakar.

Berbeda dengan Rani yang melahirkan hampir di setiap kota lokasi dinas, Tata justru alami kemalingan. Kemalingan pertama yang dialami Tata terjadi saat berdinas di Sumatera Barat. “Kemalingan kedua di Sumatera Selatan yang habis sehabis-habisnya,” ujar Tata. Baju kebaya kenangan saat lamaran perkawinan Tata pun sempat-sempatnya ikut dibawa maling.

Namun, Tata bersyukur nyawanya tidak hilang pada kemalingan kedua. Maling di wilayah itu dikenal sadis dan tidak segan mengambil nyawa korbannya. Menurut Tata, ia tertolong karena mengantarkan pulang lebih dulu Wakil Ketua Pengadilan alih-alih langsung menuju rumah.

“Malingnya terlihat sangat santai sampai-sampai Coca-cola dan Fanta di rumah saya sempat mereka habiskan. Mereka mungkin seperti shopping,” kata Tata mengenang sambil tertawa ironis. Saat itu hari hujan lebat. Setiba di rumah ia mendapati kondisi sudah berantakan dan tetangga sudah berkumpul mengerumuni rumahnya. Rupanya sempat ada tetangga yang memergoki maling saat keluar rumah Tata, tapi tidak tertangkap.

Meski Tata kehilangan harta benda, semua kolega dan tetangga justru bersyukur ia tidak kehilangan nyawa. Pengalaman traumatis membuat Tata terbiasa waspada jika pulang ke rumah sendiri. Ia tidak langsung masuk ke rumah. Tata akan masuk rumah sambil tersambung via telepon untuk bersiap jika harus meminta pertolongan darurat.

Apakah insentif sebagai hakim tidak cukup untuk menjalani lika-liku hari-hari Iriaty, Rani, dan Tata? Ketiganya kompak tersenyum misterius saat itu ditanyakan. Mereka mengaku bersyukur sudah ada perbaikan kesejahteraan hakim. Namun, pengalaman ketiganya menunjukkan ukuran cukup tidak mudah dipukul rata dengan berbagai kondisi lokasi penugasan.

“Tidak selalu dapat rumah dinas dan tidak selalu mudah untuk berpindah lokasi dinas. Biaya dinas yang tersedia tidak selalu memenuhinya,” kata Tata berbagi pengalamannya. Rani menegaskan bahwa apa yang harus ia tanggung adalah buah dari pilihannya. “Saya harus bertanggung jawab untuk itu,” katanya.

Cerita Iriaty, Rani, dan Tata ini baru dari satu PN Rangkasbitung yang Hukumonline kunjungi. Entah bagaimana cerita para pengadil, terutama para perempuan, di pengadilan lainnya. Apalagi para hakim yang bertugas menjadi pengadil di lokasi terpencil.

Cerita para perempuan pengadil kali ini pun belum menggali lebih jauh bagaimana hakim perempuan juga sering alami pandangan misoginis. Berdasarkan pengakuan Iriaty, masih ada pihak berperkara yang meremehkan hakim perempuan di persidangan.

Begitulah, para hakim yang biasa dituntut mengadili seadil-adilnya harus menghadapi tuntutan hidupnya masing-masing. Mereka pun harus siap dengan apa saja vonis takdirnya yang datang. Hanya saja, mereka sendiri tidak tahu ke mana bisa mengajukan banding, apalagi kasasi hingga peninjauan kembali.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *