PIJAR-JAKARTA – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Aturan tersebut untuk memberi kepastian hukum pasca-Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 yang mengamanatkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki (hingga 25 November 2023), UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Dalam acara Seminar Nasional “Quo Vadis Perppu Cipta Kerja”, Staf Ahli Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Elen Setiadi menerangkan Perppu Cipta Kerja merupakan tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Dia menyampakan telah ditetapkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur metode omnibus dalam pembentukan UU.
Dengan pengaturan metode omnibus tersebut, UU (termasuk perbaikan UU Cipta Kerja melalui Perppu Cipta Kerja) yang menggunakan metode omnibus telah sesuai dengan ketentuan pembentukan UU yang pasti, baku, dan standar (pemenuhan aspek formil). Pengaturan metode omnibus dalam UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah dikuatkan dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XX/2022 dan Putusan MK Nomor Nomor 82/PUU-XX/2022.
Kemudian, Elen juga memaparkan tentang partisipasi bermakna publik dalam penyusunan Perppu Cipta Kerja. Dia juga menyampaikan terbagi dua isu yang menonjol dalam UU Cipta Kerja sehubungan partisipasi publik bermakna yaitu ketenagakerjaan dan non-ketenagakerjaan. “Pada isu ketenagakerjaan mengenai upah, alih daya dan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan non-ketenagakerjaan yaitu perizinan usaha OSS, UMKM, halal, tata ruang dan kehutanan,” jelas Elen dalam paparannya, Jumat (27/1).
Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja juga untuk mengantisipasi ancaman resesi global pada 2023. Dengan kata lain, terdapat tiga aspek genting yang memaksa terbitnya Perppu Cipta Kerja yaitu Putusan MK, kebutuhan nasional dan ancaman resesi global.
Presiden telah menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada tanggal 30 Desember 2022. Perppu Cipta Kerja sebagai pelaksanaan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutuskan UU Cipta Kerja yang berkaitan dengan formil pembentukannya. Elen memaparkan isi Perppu Cipta Kerja secara umum sama dengan isi UU Cipta Kerja, namun ada beberapa perubahan isi yang menyangkut:
a. Ketenagakerjaan
b. Jaminan Produk Halal (Sertifikat Halal)
c. Harmonisasi dan sinkronisasi dengan UU HPP dan UU HKPD
d. Pengelolaan sumber daya air; dan
e. Perbaikan teknis penulisan.
Struktur Perppu Cipta Kerja (15 Bab, 186 Pasal):
Bab I: Ketentuan Umum
Bab II: Asas, Tujuan, dan Ruang Lingkup
Bab III: Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha
Bab IV: Ketenagakerjaan
Bab V: Kemudahan, Perlindungan, Pemberdayaan Koperasi dan UMKM
Bab VI: Kemudahan Berusaha
Bab VII: Dukungan Riset dan Inovasi
Bab VIII: Pengadaan Lahan
Bab IX: Kawasan Ekonomi
Bab X: Investasi Pemerintah Pusat dan Kemudahan Proyek Strategis Nasional
Bab XI: Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk Mendukung Cipta Kerja
Bab XII: Pengawasan dan Pembinaan
Bab XIII: Ketentuan Lain-Lain
Bab XIV: Ketentuan Peralihan
Bab XV: Ketentuan Penutup
Digugat Kelompok Serikat Pekerja
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja) kembali digugat sejumlah elemen masyarakat. Kali ini, Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menerima permohonan uji formil terhadap Perppu Cipta Kerja dari sejumlah organisasi serikat pekerja. Sebelumnya, tengah bergulir proses penanganan perkara Pengujian Formil Perppu Cipta Kerja dengan Nomor Perkara No.5/PUU-XXI/2023 dan Perkara No.6/PUU-XXI/2023.
“Ada lebih kurang 13 pemohon dari teman-teman federasi, serikat buruh, serikat pekerja. Jumlah pemohon, saya katakan bisa terus bertambah, per hari ini tadi sudah terdaftar ada 13 pemohon,” ujar Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Prof Denny Indrayana kepada awak media usai mendaftarkan pengujian Perppu Cipta Kerja di halaman Gedung MK, Rabu (25/1).
Ke-13 organisasi serikat pekerja yang dimaksud antara lain DPP Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia; DPP Federasi Serikat Pekerja Logam, Elektronik dan Mesin – SPSI; DPP Gabungan Serikat Buruh Indonesia; DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia; Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional; Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan KSPSI.
Kemudian Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan; Federasi Serikat Pekerja Rakyat Indonesia; Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia; PP Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi KSPSI; Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92; Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan KSPSI; serta Federasai Serikat Pekerja Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat.
“Total kita di Aliansi Aksi Sejuta Buruh (AASB) itu ada 40 federasi. Tapi sekarang ada yang Sekjen-nya di mana, Ketum-nya di mana, tanda tangan susah. Jadi yang terkumpul sekarang baru 13, ada yang datang tapi belum (memberikan) surat (kuasa). Kira-kira total akan ada sekitar 30-an lah. Masih ada waktu kan,” ujar Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Muhammad Jumhur Hidayat dalam kesempatan yang sama.
Prof Denny melanjutkan saat pendaftaran disampaikan pihak penerima berkas MK masih memungkinkan penambahan pemohon. “Masih diberi kesempatan. Jadi hari ini tercatat yang sudah memberi kuasa dan masuk dalam surat permohonan ada 13, tapi ini insya Allah akan bertambah. Tergantung teknisnya masalah tanda tangan. Tapi poinnya, yang mengajukan tidak sedikit karena banyak yang keberatan dan menolak Perppu Cipta Kerja ini,” kata Denny.
Ia menerangkan para pemohon mengajukan uji formil atas terbitnya Perppu Cipta Kerja, bukan uji materil. Meski diyakini masih banyak masalah perihal substansi Perppu Cipta Kerja yang problematik dan sangat beririsan dengan kepentingan buruh, namun persoalan mendasar terletak pada konstitusionalitas proses terbitnya Perppu.
Seperti mengenai syarat kegentingan yang memaksa (yang tidak sesuai putusan MK); tidak sesuai dengan Putusan MK tentang UU Cipta Kerja, dan lain-lain. Oleh karena itu, sesuai Peraturan MK No.2 Tahun 2021 bahwa pendaftaran jika dikuasakan kepada kuasa hukum itu wajib secara online. Tim kuasa hukum para pemohon telah secara resmi mendaftarkan online permohonan pengujian formil Perppu Cipta Kerja.
“Perppu Cipta Kerja ini melanggar konstitusi, karenanya kita tidak bisa membiarkan pelanggaran ini terlalu lama. Makin lama dia dibiarkan, makin lama pelanggaran konstitusi terus terjadi. Karena itu kita mengambil langkah konstitusional mengajukannya sekarang. Bagaimana nanti kalau ternyata DPR menolaknya? Bagus, berarti sudah tidak ada Perppu lagi. Kalau DPR menyetujui bagaimana? Kami akan mengajukan uji materi atas UU Cipta Kerja yang disahkan itu,” tegasnya.
Menurutnya, pengajuan permohonan uji formil Perppu Cipta Kerja juga dimaksudkan untuk mengirim sinyal kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan negara perihal penerbitan Perppu itu tidak boleh dilakukan dengan serampangan. “Harus ada upaya serius memperhatikan kegentingan yang memaksa secara amat hati-hati. Para pemohon turut berkenan untuk menegakkan konstitusi negara yang berdaulat serta berpihak pada kepentingan buruh, serikat pekerja, dan masyarakat Indonesia.
Ia berharap melalui pengujian formil Perppu Cipta Kerja dapat diputuskan melanggar atau bertentangan dengan konstitusi, UUD 1945, tidak mempunyai kekuatam hukum mengikat, sehingga harus dibatalkan. Advokat yang sempat menjabat sebagai Wamenkumham Periode 2011-2014 itu menegaskan permohonan uji formil Perppu Cipta Kerja ini dimaknai lebih mendasar, yang mana bukan sekedar materi dari Perppu yang bermasalah, tetapi secara formil pembentukan Perppu juga bermasalah.
“Kalau Perppu sudah jelas itu inisiatif Presiden, tidak akan mungkin melibatkan rakyat. Itu subjektif presiden. Sejak pembentukan UU Cipta Kerja itu jelas, serikat buruh tidak pernah diajak bicara. Kita datang ke sini itu mengawal konstitusi dan yang dilecehkan itu (sebenarnya, red) MK,” sambung perwakilan dari Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), Rudi HB Daman.
Rudi pun menyampaikan kalangan organisasi buruh tidak akan berhenti di pengujian formil Perppu Cipta Kerja di MK, karena pihaknya tengah menyusun gugatan terhadap Presiden Jokowi yang dituding telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Gugatan tersebut akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Mereka menyerukan tidak akan membiarkan Presiden dan DPR bersikap sewenang-wenang karena Indonesia sebagai negara hukum. “Nanti kita akan buktikan di pengadilan,” katanya.