Terbitnya Perppu Cipta Kerja Dinilai untuk Kepentingan Oligarki

PIJAR-JAKARTA – Salah satu pertimbangan yang menjadi alasan pemerintah dalam menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yakni krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional. Merespon alasan itu, Ekonom Senior INDEF Faisal Basri membenarkan kondisi global saat ini mengalami perlambatan ekonomi, tapi bukan resesi. Penyebabnya adalah dampak Covid-19 yang belum pulih dan terjadinya perang di antara Rusia-Ukraina.

“Semua negara mengalami perlambatan ekonomi itu, tapi sampai saat ini selain Rusia dan Ukraina tidak ada negara yang menyatakan negaranya dalam kondisi darurat,” ujar Faisal Basri dalam diskusi bertajuk “Menguji Klaim Kedaruratan dan Kegentingan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” Selasa (24/1/2023).

Faisal memberi contoh Jerman yang terkena dampak serius perang tersebut, sehingga harga energi terutama gas naik 3 kali lipat. Tapi Jerman mencari solusi dengan cara membuat tempat penampungan energi secara terapung dan melakukan impor dari negara Timur tengah. Kondisi Indonesia lebih baik dan tidak seperti krisis ekonomi tahun 1998 dimana inflasi tinggi, dan devisa minim.

“Perang (Rusia-Ukraina) dan perlambatan ekonomi tidak masuk akal menjadi alasan pemerintah menerbitkan Perppu,” kata Faisal Basri menegaskan.

Jika perekonomian benar-benar darurat, Faisal menyebut langkah yang harus ditempuh antara lain mengantisipasi semaksimal mungkin dampaknya. Misalnya, menunda proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Tapi faktanya berbagai proyek pemerintah terus berjalan sekalipun diklaim krisis global dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional.

Investasi terhadap PDB di Indonesia tergolong tertinggi di ASEAN. Ironisnya, pemerintah mengakui investasi yang bocor diperkirakan lebih dari 30 persen. Seharusnya Presiden Joko Widodo menyatakan keadaan darurat untuk kebocoran investasi itu.

Faisal mengingatkan pemerintah jangan ugal-ugalan menata ekonomi Indonesia, tapi harus menggunakan perhitungan yang matang dan tepat. Investasi yang boros terlihat dari berbagai proyek yang mangkrak, seperti pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

Kondisi perekonomian Indonesia yang tergolong baik juga disampaikan berbagai pihak. Data yang ada menunjukkan perekonomian kita tidak dalam kondisi darurat, malah cenderung membaik. Karena itu, ia menilai terbitnya Perppu Cipta Kerja ini hanya melindungi kepentingan oligarki karena MK sudah menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Karena itu, seharusnya kembali kepada peraturan lama yang mengatur ketika tambang batubara habis masa konsesinya harus dikembalikan ke pemerintah.

“Pemerintah berwenang memperpanjang atau tidak konsesi itu. Tapi UU No.11 Tahun 2020 memperpanjang otomatis masa konsesi itu dan limbah batubara tidak masuk kategori berbahaya,” bebernya.  

Kemudian Faisal mencatat ada perizinan konsesi batubara besar yang akan habis masa berlakunya tahun 2024. Maka jika UU No.11 Tahun 2020 tak segera dibenahi pemerintah karena telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK konsesi itu tidak bisa diperpanjang otomatis. Untuk mengakomodir kepentingan korporasi itu, maka Perppu Cipta Kerja diterbitkan.

Faisal menilai masa depan Indonesia terancam sejak UU No.11 Tahun 2020 terbit. Adanya Perppu No.2 Tahun 2022 semakin memperburuk dan merusak serta melemahkan institusi negara. Pemerintah dinilai sudah melebihi batas kewenangannya karena selalu mencari argumen yang dibuat-buat untuk membenarkan kebijakan yang diterbitkan.

“Putusan MK diabaikan, perintah untuk memberi ruang partisipasi publik yang bermakna juga tidak dilakukan karena pemerintah menerbitkan Perppu (sebagai jalan pintas, red). Kita juga pesimis dengan sikap DPR terhadap Perppu itu,” ujarnya.

Deputi Direktur Program ICEL Grita Anindarini menilai perubahan iklim juga menjadi salah satu alasan pemerintah menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022. Tapi tidak ada substansi Perppu yang menjawab tuntas tantangan perubahan iklim itu. Misalnya, Perppu tidak menjawab masalah perlindungan pesisir untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Tidak mengubah ketentuan yang membuka peluang zona inti dapat dieksploitasi untuk proyek strategis nasional.

Pun tidak mengubah ketentuan terkait penerbitan perizinan berusaha pemanfaatan laut sekalipun belum direncanakan dalam rencana zonasi/tata ruang untuk kebijakan strategis nasional. “Perppu juga tidak membahas hal mendasar seperti integrasi kebijakan tingkat regional dan nasional berdasarkan kebutuhan komunitas pesisir, pengelolaan risiko bencana, serta penguatan di tahap penanggulangan bencana,” ujar Grita dalam kesempatan yang sama.

Ketua Umum KASBI Nining Elitos menilai terbitnya Perppu menunjukkan pemerintah tidak mematuhi putusan MK sebagai hukum yang berlaku setingkat Undang-Undang. Ia menilai baik Perppu maupun UU No.11 Tahun 2020 terlihat jelas substansi yang mengatur untuk kepentingan oligarki. Padahal, salah satu alasan terbitnya Perppu adalah mewujudkan masyarakat sejahtera, adil dan makmur serta mendapat kehidupan layak.

“Tapi praktiknya UU No.11 Tahun 2020 digunakan untuk melegitimasi pemangkasan hak-hak buruh baik itu upah, cuti, K3, dan kompensasi pesangon. Perppu No.2 Tahun 2022 ini sama saja seperti UU No.11 Tahun 2020 yang merugikan buruh,” tegasnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *