Tuntutan Pembunuhan Brigadir J Dikritik, Jampidum: Tuntutan Kita Bukan Asal-Asalan!

PIJAR-JAKARTA – Rangkaian persidangan perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J telah memasuki tahap penuntutan. Para terdakwa telah mendapat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum atas perbuatannya yakni Ferdy Sambo (FS) dituntut pidana seumur hidup; Richard Eliezer Pudihang Lumiu (RE) dituntut 12 tahun penjara. Sedangkan Putri Candrawathi (PC), Kuat Maruf (KM), Ricky Rizal Wibowo (RR) masing-masing dituntut 8 tahun penjara.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum lantas menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Ragam kritikan atas tuntutan mulai bermunculan terutama terhadap tuntutan Terdakwa Putri Candrawathi dan Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Guna menjawab segala pertanyaan dan kritikan yang beredar di publik itu, pihak Kejaksaan Agung RI akhirnya buka suara.

“Ini penegakan hukum. Sesuai kewenangan yang diatur dalam hukum acara pidana, tugas kami melakukan pembuktian sesuai Pasal 183 KUHAP, Jaksa memperoleh alat bukti yang cukup untuk menuntut seseorang di persidangan. Itu diatur KUHAP,” ujar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana dalam konferensi pers, Kamis (19/1/2023).

Ia meminta kepada seluruh pihak untuk menghormati kewenangan penuntutan yang dimiliki Kejaksaan. “Kami mewakili masyarakat, pemerintah, dan negara. Kewenangan itu diberikan kepada Jaksa Agung seusai UU Kejaksaan, UU No.11 Tahun 2021, berwenang melakukan penuntutan terhadap semua tindak pidana. Garis bawahi, ini kewenangan kami,” kata dia.

Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, Jaksa juga diatur sejumlah peraturan perundang-undangan. Khususnya dalam menentukan tinggi rendah tuntutan pidana. Fadil menekankan adanya parameter bagi Penuntut Umum dalam mengajukan atau menentukan besaran tuntutan.

“Ini ada aturannya, bukan kita asal-asalan. Ini proses penuntutan dilakukan secara arif dan bijaksana. Kami mendengar, kami melihat, kami mempertimbangkan semua hal terkait proses penuntutan perkara ini. Kami sungguh-sungguh membuktikan. Bisa lihat persidangan itu. Tapi ketika berapa tuntutan yang pantas diberikan kepada terdakwa? Itu ada parameternya, jelas benar ada.

Diantaranya meliputi peranan terdakwa yang bersangkutan dalam tindak pidana yang dilakukan. Tak dapat dilakukan penuntutan jika tidak memperhatikan peran dan alat bukti yang muncul di persidangan. Terlebih, dalam hal ini persidangan perkara pembunuhan Brigadir J telah dibuat secara terbuka untuk umum hingga disiarkan secara live sampai dengan ada yang langsung dibahas para ahli.

“Tentang tinggi rendah tuntutan saya tidak mau disebut polemik, gak ada polemik. Bagi saya, kita ini beda sudut pandang. Itu hal wajar dalam proses penuntutan. Kalau korban menyatakan kurang tinggi, maka saya berempati pada korban. Kalau terdakwa bilang ketinggian, itu juga hak terdakwa. Proses masih berjalan. Kita dengar pledoi penasihat hukum, ada replik dari Jaksa, duplik, ada putusan,” ucapnya.

Untuk itu, Fadil meminta agar jangan terlalu banyak opini dilemparkan terhadap proses hukum yang masih berjalan. Agar Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum bisa berpikir jernih, dan biarkan hukuman yang memutuskan majelis hakim. Sebagai Jaksa, tegas dia, penuntutan yang dilakukan sudah mempunyai parameter jelas yang mana tak dapat diintervensi oleh siapapun.

“Hargailah kewenangan penuntut umum, hargai hakim, dan saya menghargai penasihat hukum. Kita mengadili manusia. Jangan ada ‘persidangan’ di luar persidangan resmi!”

Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung RI Dr. Ketut Sumedana menyampaikan ada berbagai indikator yang dipertimbangkan sebelum menentukan tinggi-rendahnya penuntutan yang diajukan Penuntut Umum.

Penilaian tuntutan bukan saja dilihat dari mens rea (niat jahat) terdakwa, melainkan dari peranan masing-masing terdakwa yang terungkap di persidangan. Tentu, masing-masing peran itu akan berbeda tuntutannya antara terdakwa Ferdy Sambo (FS) sebagai pelaku intelektual atau intelectual dader dengan terdakwa lainnya.

“Terdakwa FS telah dituntut dengan hukuman seumur hidup karena telah memerintahkan terdakwa RE mengeksekusi, menghilangkan nyawa Brigadir J. Sementara terdakwa PC, KM, dan RR tidak secara langsung menyebabkan terjadinya menghilangkan nyawa Brigadir J. Perbuatannya sejak awal mengetahui rencana pembunuhan tersebut, akan tetapi tidak berusaha mencegah atau menghalangi terjadinya tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir J itu,” ungkap Ketut dalam kesempatan yang sama. 

Adapun tentang rekomendasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) telah terakomodir dalam surat tuntutan, sehingga RE mendapat tuntutan pidana jauh lebih ringan dari FS sebagai pelaku intelectual dader. “RE merupakan bawahan yang taat kepada atasan untuk melaksanakan perintah yang salah dan menjadi eksekutor dalam pembunuhan berencana yang dimaksud,” bebernya.

Ketut menjelaskan untuk kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun Surat Edaran MA No.4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Antara lain tindak pidana korupsi, terorisme, narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisir.

“Dalam SEMA ini memang tidak secara tegas dijelaskan pembunuhan berencana apakah masuk dalam kategori yang harus diberikan justice collaborator. Kemudian yang dilakukan RE sebagai eksekutor yakni pelaku utama. Bukan sebagai penguak fakta hukum. Sehingga tidak dapat dipertimbangkan sebagai yang mendapatkan justice collaborator,” katanya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *