Permudah Pembagian Aset, Jamaah Diminta Ajukan Pailit Kepada First Travel

PIJAR-JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) menyatakan aset jamaah First Travel harus dikembalikan kepada jamaah. Putusan ini sekaligus membatalkan putusan-putusan sebelumnya yang menyatakan aset jamaah harus disita oleh negara.

“Kabul,” demikian bunyi amar putusan Nomor 365 PK/Pid.Sus/2022 yang dilansir situs MA yang diajukan oleh bos First Travel, Andika Surachman, Anniesa Hasibuan, dan Kiki Hasibuan alias Siti Nuraida Hasibuan, Kamis (5/1).

Meski putusan ini membawa angin segar bagi para jamaah First Travel, namun persoalannya adalah bagaimana mekanisme pembagian aset First Travel kepada 63.310 jamaah? Sementara di sisi lain, pada Mei 2018 silam, majelis hakim Pengadilan Niaga resmi memberikan putusan perdamaian atau homologasi terhadap Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) First Travel.

Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Imran Nating, berpendapat salah satu cara sederhana dalam pembagian aset First Travel yang bisa dilakukan oleh jaksa adalah bekerja sama dengan manajemen First Travel. Namun persoalannya apakah saat ini manajemen First Travel masih ada?

Jika manajemen First Travel sudah tidak ada maka perdebatan mekanisme pembagian aset First Travel dapat diselesaikan lewat permohonan pailit ke Pengadilan Niaga, dengan kerja sama antara kejaksaan dan kurator. Selain mempermudah verifikasi tagihan, pembagian aset First Travel lewat permohonan pailit dilakukan secara proporsional dengan prinsip Pari Passu Prorata Parte.

“Para kreditur bagusnya sekarang adalah pailitkan, baru setelah itu aset dibagikan. Sekarang siapa yang mau bagikan? Katakan jaksa yang eksekusi, bagaimana cara jaksa memverifikasi, membagi rata dengan prinsip pari passu prorate rate. Saya enggak yakin jaksa mau kerjain itu, karena itu kerjaan kurator.” kata Imran kepada Hukumonline, Rabu (11/1).

Namun yang menjadi catatan adalah permohonan pailit kepada First Travel bisa dilakukan jika manajemen melakukan wanprestasi atas perjanjian perdamaian sebagaimana diatur dalam UU No 37 Tahun 2004 tentang Pailit dan PKPU. Jika tidak maka First Travel tak bisa dipailitkan dan pembagian aset menjadi tugas kejaksaan.

Mengingat banyaknya jumlah kreditur First Travel, Imran menilai pembagian aset tentu bukanlah perkawa mudah bagi kejaksaan. Dalam proses pembagian aset, lanjutnya, membutuhkan biaya yang cukup besar misalnya untuk verifikasi tagihan. Persoalannya apakah kejaksaan akan mengambil anggaran internal untuk mengurus pembagian aset, atau dimungkinkan membebankan biaya dari aset debitur.

Penasihat Hukum pro bono jamaah korban First Travel, TM Luthfi Yazid menegaskan bahwa sejauh ini perjanjian perdamaian (homologasi) tidak dapat dijalankan karena aset First Travel dirampas oleh negara, dan First Travel sudah tidak beroperasi lagi.

“Jadi tidak bisa juga melakukan pembayaran kepada kreditur-krediturnya,” ujar Luthfi kepada Hukumonline, Senin (16/1).

Sebelum memutuskan langkah hukum selanjutnya yang akan diambil jamaah First Travel pasca putusan MA, menyampaikan bahwa pihaknya mendesak untuk mendapatkan berkas putusan. Selain itu, sebagaimana disampaikan oleh Jubir MA pada saat itu yakni Abdullah bahwa upaya itu bukan hanya hukum tapi juga non hukum termasuk politik.

“Kita akan lakukan itu. Bahkan berdasarkan Pasal 86 UU No 8 Tahun 2019 tentang Umroh dan Haji, Presiden RI bisa “turun tangan” mrnyelesaikan masalah ini, misalnya melalui Kepres. Atau mendesak Menteri Agama untuk selesaikan kasus ini sblm masa jabatan Presiden RI selesai. Bisa juga memberikan cantolan hukum yang memadai kroada SWI dan memerintahkan Satgas Wapada Investasi untuk mrmbantu menyelesaikan kasus ini agar tak mrnjadi preseden buruk,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *