AJI: Perppu Cipta Kerja Merugikan Pekerja

PIJAR-JAKARTA – Nasib Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja berada di tangan DPR. Beberaa elemen masyarakat melakukan aksi penolakan terhadap Perppu tersebut. Penolakan tidak hanya berkaitan dengan substansi, tetapi proses penyusunan Perppu yang dianggap tidak membuka ruang lebar partisipasi publik. Hingga kini, pemerintah bergeming, tetap melanjutkan untuk menyerahkan nasib Perppu ke DPR.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas berpandangan alibi pemerintah penerbitan Perppu mendesak dilakukan agar mengantisipasi kondisi global. Seperti resesi global, peningkatan inflasi dan ancaman stagflasi. Selain itu, klaim pemerintah soal penerbitan Perppu telah sesuai dengan          putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 38/PUU-VII/2009.

“Padahal Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan organisasi masyarakat sipil atas uji formil terhadap Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 25 November 2021 lalu,” paparnya, Jumat (13/1/2023).

Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 dinilai tepat  dengan menyatakan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat lantaran cacat formil. Konsekuensinya, pemerintah dilarang mengambil kebijakan strategis dan berdampak luas terkait dengan UU Cipta Kerja. MK memberi waktu dua tahun dan kesempatan bagi pemerintah dan DPR agar memperbaiki UU No. 11 Tahun 2020.

AJI, kata Ika, mengecam keputusan pemerintahan Joko widodo yang terus mengabaikan partisipasi masyarakat secara bermakna. Termasuk komunitas pers dalam penerbitan Perppu. Sebab Perppu No. 2 Tahun 2022 sejatinya memiliki dampak besar terhadap semua pekerja di Tanah Air, tak terkecuali pekerja media.

Ketua Bidang Ketenagakerjaan AJI, Edi Faisol menambahkan, sejumlah pasal di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja merugikan pekerja. Pertama, Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon. Menurutnya aturan pesangon ternyata tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja, yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Berdasarkan pengamatan AJI, setidaknya dalam beberapa kasus PHK, keberadaan PP No. 35 Tahun 2021 malah merugikan pekerja media. Sebab, pengaturan pesangon dalam UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 dinilai lebih buruk dibandingkan pengaturan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kedua, pengaturan  Pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dihapus melalui Perppu No. 2 Tahun 2022, seperti halnya UU Cipta Kerja.

AJI berpendapat kedua pasal tersebut sejatinya mengatur tentang hak burh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 156 ayat (2) UUU Ketenagakerjaan. Hapusnya Pasal 163 dan 164 melalui Perppu No. 2 Tahun 2022 berpotensi merugikan pekerja media yang mengalami PHK.“Karena mengurangi pesangon yang semestinya didapat,” imbuhnya.

Ketiga, ada sejumlah pasal terkait pengaturan alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja, dan cuti yang sama dengan UU Cipta Kerja. Menurutnya, praktik ketentuan tersebut jamak ditentukan di dunia pers dan merugikan pekerja media. Contoh, pekerja alih daya di televisi yang berstatus dikontrak hingga belasan tahun. Caranya dengan diperbaharui kontraknya setiap tahun dengan perusahaan berbeda.

Keempat, revisi UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang dipindahkan ke dalam Perppu No. 2 Tahun 2022. Antara lain tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Sebab Perppu No. 2 Tahun 2022 membolehkan dunia penyiaran beriaran secara nasional. Baginya, hal tersebut dianggap melanggar UU Penyiaran. “Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh,” katanya.

Tak hanya itu, Perppu Cipta Kerja pun memberi kewenangan besar  pemerintah dalam mengatur penyiaran. Sebab mengacu Pasal 34 UU No. 32 Tahun 2002 yang mengatur peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam hal proses perizinan penyiaran malah dihilangkan. Menurutnya dengan dihapusnya Pasal 34 UU 32/2002 berdampak terhadap hilangnya ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran. Seperti 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.

“Menuntut DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja yang telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia. DPR sebagai wakil masyarakat tidak boleh menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi,” ujarnya.

Mengubah ketentuan upah dan alih daya

Direktur Jenderal (Dirjen) Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial (Jamsos) Indah Anggoro Putri berpendapat, Perppu No. 2 Tahun 2022 memang mengubah ketentuan terkait upah minimum, termasuk formula perhitungannya. Sebelumnya, penghitungan upah minimm mengacu pada PP No.36 Tahun 2021. Menyusul lhirmya Perppu, perhitungannya kemungkinan bakal berubah lagi.

Sementara perubahan formula penghitungan dengan mempertimbangan tiga variabel, Yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu. Menurutnya, perubahan tersebut ditujukan agar memberikan formula yang lebih adaptif terkait penghitungan upah minimum.  Dia menerangkan, perubahan terjadi dengan adanya penegasan syarat penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK).


Sementara pengaturan berbeda dengan UU Cipta Kerja dalam Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang pemerintah pusat dapat menetapkan upah minimum bagi suat daerah yang sedang terkena bencana nasional. Dia pun menampik tudingan Perppu No. 2 Tahun 2022 mengembalikan kuasa pemerintah pusat melalui Menaker untuk menetapkan upah semua daerah di Indonesia. “Jadi, itu tidak benar,” tegasnya.

Dia melanjutkan, soal alih daya alias outsourcing memang diatur dalam Perppu No. 2 Tahun 2022. Tapi dibatasi terhadap sebagian pelaksanaan pekerjaan. Namun jenis pekerjaanya secara detil bakal ditetapkan lebih lanjut dalam PP. Berbeda dengan UU Cipta Kerja yang tidak mengatur pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dialihdayakan.


Dampak dari perubahan tersebut, Kemenanker bakal merevisi PP No. 35 Tahun 2021. Dia beralasan perubahan melalui Perppu No. 2 Tahun 2022 untuk memberikan kesempatan lebih luas bagi pekerja sebagai pekerja tetap. Menurutnya bila terlalu dibuka terhadap semua jenis pekerjaan sebagaimana dalam UU Cipta Kerja, pengusaha bakal terus melakukan outsourcing. “Sementara di dalam Perppu ini kita sudah mulai membatasi,” pungkasnya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *