PIJAR-JAKARTA – Pegiat antikorupsi yang juga mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Yudi Purnomo menilai kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan penyidikan tindak pidana jasa keuangan rawan praktik korupsi.
Yudi dalam keterangan resmi yang dibagikannya kepada wartawan, menolak tegas pemberian kewenangan kepada OJK sebagai penyidik tunggal sebagaimana termuat dalam Pasal 49 Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
“Akan sangat rawan terjadi tindak pidana korupsi ketika terjadi kewenangan yang absolut seperti yang diberikan kepada OJK sebagai penyidik tunggal dalam melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan,” kata Yudi seperti dilansir Antara.
Yudi yang kini menjabat sebagai anggota Satgas Khusus (Satgasus) Pencegahan Korupsi Bareskrim Polri berpandangan, kewenangan tersebut membuat perusahaan, lembaga atau orang-orang yang berkecimpung di sektor keuangan takut kepada penyidik OJK.
Kondisi tersebut, kata dia, dapat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, karena tidak ada lembaga atau institusi lain yang bisa menyidik kasus dalam sektor jasa keuangan.
Menurut mantan Ketua Wadah Pegawai KPK itu, lahirnya UU PPSK tentunya menjadikan OJK memiliki kewenangan besar sebagai otoritas tunggal yang berfungsi sebagai regulator, pengawas, sekaligus melakukan penyidikan di bidang jasa keuangan.
“Dengan kewenangan sangat besar bertumpu pada satu lembaga berpotensi terjadi abuse of power dan hal ini tentu sekali lagi akan berpotensi terjadi tindak pidana korupsi,” kata Yudi.
Ia mengutip pepatah Lord Acton dengan adagiumnya yang terkenal, yakni kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely).
Dia mengatakan tindak pidana korupsi yang berpotensi terjadi dengan kekuatan obsolut OJK ini, yaitu suap menyuap dan pemerasan hingga gratifikasi. Diperlukan pembanding agar terjadi keseimbangan dan sinergi dalam penegakan hukum, sehingga sistem penegakan hukum bebas dari korupsi.
Yudi memaparkan contoh dalam penegakan hukum korupsi, bagaimana KPK tidak diberikan kewenangan sebagai penyidik tunggal, polisi dan kejaksaan juga bisa menyidik kasus korupsi. Bahkan kewenangan KPK dalam penyidikan dibatasi hanya menangani perkara terkait penegakan hukum, penyelenggara negara, dan orang lain terkait penegakan hukum dan penyelenggara negara serta menyangkut kerugian di atas Rp1 miliar.
Dengan tiga lembaga ini, kata dia lagi, hasilnya terlihat bahwa kasus-kasus besar korupsi bisa ditangani bahkan di antara ketiga lembaga tersebut juga saling bersinergi dalam bentuk koordinasi supervisi dan bisa terjadi pelimpahan penanganan perkara korupsi.
“Seharusnya penyidik sektor jaksa keuangan tetap ada di institusi lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, sebab maraknya kejahatan di sektor keuangan belakangan ini membutuhkan sinergi banyak institusi penegak hukum untuk memberantasnya,” kata Yudi memberi solusi.
Diketahui OJK diberi kewenangan menjadi satu-satunya institusi yang memiliki hak untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. Hal itu diatur dalam Undang-Undang PPSK.
Dalam Pasal 49 Ayat (5) menyebutkan selain sebagai regulator dan pengawas, OJK bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Mulawarman Herdiansyah menjelaskan masalah penting dalam Pasal 49 UU PPSK yang menetapkan OJK sebagai penyidik tunggal tindak pidana sektor jasa keuangan.
“Jika aturan UU PPSK ditafsirkan secara letter lijk ketentuan mengenai penyidik tunggal maka tidak ada gunanya lagi badan khusus lembaga penegak hukum lain yang menangani kejahatan di sektor keuangan. Ini yang menjadi dasar kenapa penyidik tunggal dianggap bermasalah,” katanya seperti dikutip Antara.
Menurutnya, ada dua cara untuk melakukan koreksi terhadap ketentuan bermasalah dalam Pasal 49 Undang-Undang PPSK. Pertama, dikoreksi pembuat sendiri dalam hal ini pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah/eksekutif).
Kedua, dikoreksi melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan batu uji berkenan dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
Selain itu, ia menilai aturan tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan besar. Bahkan, hal itu akan sulit jika nantinya terduga pelaku justru berasal dan internal OJK.
“Mestinya aparat penegak hukum (kepolisian) tetap diberikan kewenangan serupa, jadi conflict of interest bisa dihindari,” ujarnya.
Ia mengkhawatirkan OJK akan cenderung pilih-pilih kasus dan terkesan seperti cherry picking di mana penanganan perkara oleh penyidik OJK bergantung kepada kepentingan lembaga dan pejabatnya semata.
Selain itu, potensi abuse of power akan sangat besar karena tidak tertutup kemungkinan kewenangan sebagai penyidik tunggal akan membuka ruang transaksi jual beli perkara. “Apalagi jika tidak disertai dengan konsep pengawasan yang memadai, baik secara internal maupun eksternal. Ini jelas kondisi yang berbahaya,” jelasnya.
Polri harus tetap diberi kewenangan
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman juga menanggapi UU PPSK yang menetapkan OJK menjadi lembaga tunggal yang berhak melakukan penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Dia berpendapat Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus tetap diberi kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan. “Dari sisi checks and balance, saya memang cenderung lebih setuju kepolisian juga berwenang untuk menyidik kasus pidana keuangan,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Alasannya, ujar Boyamin, jika berbicara Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maka penyidik utama adalah Polri, sehingga, polisi harus tetap diberi kewenangan melakukan penyidikan dalam melakukan tindak pidana jasa keuangan.
Menurut Boyamin, pemberian kewenangan Polri untuk bisa menyidik tindak pidana jasa keuangan justru demi kebaikan OJK. Sebab, OJK lebih baik fokus dalam bidang pengawasan sektor keuangan.
“OJK biar mengurus pengawasan saja, kalau ada pelanggaran biar polisi yang menangani,” ujarnya.
Sehingga OJK bisa fokus mengawasi kalau ada yang melanggar kemudian diserahkan ke Polri. Dari sisi tata kelola kerja, MAKI menilai hal tersebut akan lebih efisien.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Yenti Garnasih juga menilai kewenangan penuh yang dimiliki OJK sebagai satu-satunya lembaga dalam mengusut tindak pidana di sektor jasa keuangan berbahaya.
“Sangat berbahaya kecuali OJK sudah menunjukkan sumber daya manusianya dan pengalaman bagaimana karena kejahatan industri keuangan sangat kompleks,” ujar Yenti Garnasih.
Yenti menilai lembaga tersebut belum berpengalaman dalam mengusut sendiri kasus tindak pidana sektor keuangan.