Ahli Hukum Ingatkan 3 Bahaya OJK Jadi Penyidik Tunggal Pidana Keuangan

PIJAR-JAKARTA – Pengamat Hukum Universitas Mulawarman Herdiansyah Hamzah Castro mengingatkan tiga risiko bahaya jika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diberi kewenangan sebagai penyidik tunggal kasus kejahatan sektor keuangan.
Ia menilai kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal sebagaimana amanat Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) jelas bermasalah. Setidaknya ada tiga implikasi sangat serius dalam praktiknya nanti.

“Pertama, potensi konflik kepentingan yang sangat besar,” katanya, Rabu (11/1).

Castro mempertanyakan bagaimana jika terduga pelaku justru berasal dari internal OJK. Karena itu, menurutnya, aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK harus tetap dilibatkan dan diberikan kewenangan serupa.

“Dengan begitu, conflict of interest bisa dihindari dan tidak akan ada kesan jeruk makan jeruk.

Catatan kedua, ia khawatir OJK akan cenderung pilah-pilih kasus alias cherry picking, di mana penanganan perkara oleh penyidik OJK bergantung kepada kepentingan lembaga dan pejabatnya semata.

Ketiga, Castro menyoroti potensi abuse of power yang akan sangat besar. Ia menilai tidak menutup kemungkinan kewenangan OJK sebagai penyidik tunggal ini akan membuka ruang transaksi jual-beli perkara.

“Apalagi jika tidak disertai dengan konsep pengawasan yang memadai, baik secara internal maupun eksternal. Ini jelas kondisi yang berbahaya,” imbuhnya.

UU PPSK mengamanatkan OJK sebagai penyidik tunggal kasus pidana keuangan. Hal itu tercantum dalam Pasal 49 ayat (5). Artinya, selain sebagai regulator dan pengawas, OJK juga bertugas sebagai instansi tunggal yang melakukan penyidikan.

“Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan,” demikian bunyi Pasal 49 ayat (5) UU tersebut.

Segendang sepenarian dengan Mulawarman, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar juga meragukan kemampuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyidik kasus pidana keuangan. Apalagi, OJK berperan sebagai penyidik tunggal.

Keraguan muncul berdasarkan kinerja OJK dalam menangani kasus pinjaman online (pinjol) dan investasi bodong. Mengurus dua hal itu saja, ia melihat OJK kesulitan.

“Sinyalemen itu bukti bahwa kemampuan OJK belum teruji, sudah ditambah pula kewenangannya,” katanya, Selasa (10/1).

Ia khawatir pemberian wewenang ini malah menimbulkan banyak penyimpangan dalam pelaksanaan kewenangan menyidik dan menggunakan upaya paksanya itu.

Fickar pun meminta tambahan kewenangan ini ditinjau kembali. Menurutnya, kerja OJK hanya sebatas regulator yang mengatur mereka yang mendaftar saja.

“Karena itu cukup alasan untuk meninjau kembali kewenangan ini dengan amandemen UU PPSK,” jelasnya.

Kewenangan baru OJK sebagai penyidik tunggal kejahatan sektor keuangan termaktub dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) Pasal 49 ayat 3 yang menyatakan OJK sebagai penyidik tunggal.

“Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan,” tulis Pasal 49 ayat (5) aturan tersebut.

Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai kewenangan baru OJK di UU PPSK tersebut bisa menimbulkan ekses negatif sebagaimana yang dikhawatirkan beberapa pihak.

Salah satunya, kekhawatiran akan timbulnya penyalahgunaan wewenang bisa dieliminir melalui pengawasan.

“Penegakan hukum terkait jasa keuangan tentu memerlukan kehati-hatian dengan mempertimbangkan ekses yang dapat timbul, karenanya diperlukan pengetahuan dan kebijaksanaan yang tinggi,” tuturnya.

Terkait kewenangan sebagai penyidik tunggal, ia menyebut OJK sebenarnya juga bisa menggunakan sumber daya dari kepolisian hingga pegawai negeri sipil (PNS) dalam melaksanakan kewenangan tersebut. Ini sesuai ketentuan UU PPSK.

Pada pasal 49 ayat (1) UU PPSK disebutkan penyidik OJK terdiri atas pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu, dan pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Aturan itu juga menyebut penyidik yang berasal dari pegawai negeri sipil tertentu diangkat oleh menteri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia. Sementara itu, pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik ditetapkan setelah memenuhi kualifikasi oleh Polri.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *