PIJAR-JAKARTA – Linguistik hukum tidak identik dengan linguistik forensik. Black’s Law Dictionary edisi 9 mencantumkan lema forensic linguistics dengan makna The science or technique that evaluates the linguistic characteristics of written or oral communications, usu. to determine identity or authorship. Istilah ini berkaitan dengan lema forensic evidence di kamus yang sama dengan makna Evidence used in court; esp. evidence arrived at by scientific or technical means, such as ballistic or medical evidence.
“Sederhananya, linguistik forensik adalah kajian linguistik atau ilmu bahasa yang berkaitan dengan hukum,” kata Frans Asisi Datang, pakar linguistik forensik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Ia juga salah satu pendiri Komunitas Linguistik Forensik Indonesia (KLFI). Frans mengatakan berbagai bidang ilmu punya cara sendiri untuk berperan membantu penegakan hukum.
“Forensik dalam linguistik forensik itu sama misalnya dengan kedokteran forensik atau psikologi forensik yaitu kajian dari berbagai disiplin ilmu yang tujuannya untuk membantu agar suatu kasus hukum terang-benderang,” kata Frans melanjutkan.
Penjelasan Frans ini senada dengan Endang Sholihatin, pakar linguistik forensik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. Endang dalam buku karyanya Linguistik Forensik dan Kejahatan Berbahasa merujuk konsep umum forensik sebagai the application of science to law. Jadi, berbagai ilmu pengetahuan yang digunakan untuk membantu proses penegakan hukum ada dalam rumah besar ilmu forensik.
Mahsun, pakar linguistik forensik Universitas Mataram memberi penjelasan lebih lanjut dalam bukunya berjudul Linguistik Forensik: Memahami Forensik Berbasis Teks dengan Analogi DNA. Ia mengatakan konsep forensik telah berkembang menjadi disiplin mandiri dengan nama ilmu forensik.
Ilmu forensik itu digunakan untuk menjawab secara ilmiah tentang bukti-bukti yang terkait penegakan hukum. Tujuannya adalah menentukan tindak kejahatan apa yang dilakukan, siapa pelakunya, dan dengan cara bagaimana tindak kejahatan dilakukan. Caranya terutama memperhatikan bekas yang tertinggal setelah tindak kejahatan terjadi.
Frans, Endang, dan Mahsun menyatakan linguistik forensik sebagai kajian linguistik terapan. Maksudnya, linguistik terapan sebagai pendekatan interdisipliner dalam memahami masalah bahasa di dunia nyata. Caranya dengan analisis ilmu bahasa serta disiplin ilmu lain yang relevan. “Linguistik forensik dapat didefinisikan sebagai kajian ilmiah atas bahasa untuk memecahkan persoalan forensik,” kata Mahsun.
Awal Kehadiran Linguistik Forensik
Frans menjelaskan eksistensi linguistik forensik di dunia dimulai dari telaah kritis seorang ahli bahasa dalam sebuah kasus pembunuhan. Ahli bahasa itu berhasil memulihkan nama baik terdakwa yang telah salah dihukum.
Ketua KFLI, Susanto menguraikan dalam artikel jurnal karyanya berjudul “Dimensi Analisis Bahasa dalam Linguistik Forensik” bahwa penerapan ilmu linguistik di bidang hukum terus berkembang. Susanto menjelaskan kasus yang disebut Frans itu sebagai awal istilah linguistik forensik pertama kali digunakan pada tahun 1968 di Inggris.
“Istilah tersebut dipakai dalam laporan hasil kerja seorang ahli bahasa yang bernama Jan Startvik dalam sebuah kasus pembunuhan,” kata Susanto. Kasus pembunuhan tersebut terjadi tahun 1949 dan Timothy John Evans, sebagai terdakwa, dihukum gantung tahun 1950. Korban pembunuhan dalam kasus itu adalah Beryl Susan Evans, istri Timothy John Evans sendiri, dan Geraldine, bayi perempuan mereka yang masih berumur 14 bulan.
Startvik menganalisis empat dokumen pernyataan tertulis Evans untuk polisi yang diyakini berisi pengakuan bersalah. Hasil analisis yang dilakukan Startvik menunjukkan bahwa kalimat-kalimat pernyataan tertulis Evans itu tidak semuanya berasal dari dirinya. Hasil temuan Svartvik tersebut lalu diajukan untuk penyelidikan publik dan akhirnya Evans secara anumerta dinyatakan tidak bersalah.
Bidang Kajian
Frans mengatakan tidak semua kasus memerlukan bantuan ahli linguistik forensik. “Ada kasus tertentu hakim memerlukan keterangan ahli bahasa agar suatu kasus lebih mudah dipahami. Paling umum kasus pencemaran nama baik, tetapi bisa juga berkaitan penafsiran undang-undang,” kata dia.
“Selain dimanfaatkan untuk membantu penyelesaian kasus hukum, linguistik forensik juga digunakan dalam upaya kontra-terorisme dan intelijen, misalnya dalam melakukan identifikasi dan verifikasi data suara yang disadap,” kata Susanto. Ia menjelaskan ada tiga bidang kajian linguistik forensik seperti dalam gambar di bawah ini.
“Tanpa bermaksud mendahului Hakim dan Jaksa dalam kasus fenomenal Ferdy Sambo, ucapan perintah ‘Hajar!’ harus dilihat konteksnya yang ahli bahasa bisa berperan,” kata Frans. Bidang ilmu linguistik yang biasa digunakan dalam analisis linguistik forensik antara lain semantik, pragmatik, dan wacana. “Ada kasus khusus yang kami juga bisa gunakan fonologi, morfologi, dan sintaksis. Sangat banyak,” ujarnya lagi.
Saat ini belum banyak pakar linguistik forensik di Indonesia. KLFI berdiri pada 3 November 2014 dengan anggota hingga sekarang kurang dari 50 orang. “Kami belum punya mekanisme sertifikasi kompetensi khusus seperti penerjemah. Saat ini baru ada kartu keanggotaan. Ijazah lulusan ilmu bahasa biasanya sudah menjadi pengenal ahli linguistik forensik yang diakui di persidangan,” kata Frans menjelaskan. Bisa disimpulkan bahwa pakar linguistik forensik belum menjadi profesi mandiri di Indonesia.
Jadi, apa bedanya dengan linguistik hukum? Simak penjelasannya dalam bagian kedua artikel berita ini.