PIJAR-JAKARTA – Apakah bahasa hukum sungguh ada? Segudang literatur bidang ilmu hukum dan ilmu bahasa di Barat menegaskan keberadaannya. Profesor bahasa hukum sekaligus perbandingan hukum asal Finlandia bernama Heikki Eero Sakari Mattila menjelaskan, “Bahasa hukum adalah salah satu jenis bahasa untuk tujuan khusus”. Penjelasan itu dituangkan Heikki dalam The Oxford Handbook of Language and Law.
Heikki melanjutkan penjelasannya bahwa pada dasarnya bahasa hukum berbasis pada bahasa yang umum. Hanya saja, ada sejumlah karakter khas yang berbeda dari bahasa umum itu. Peter Meijes Tiersma, profesor bahasa hukum lainnya dari Amerika Serikat mengatakan di buku yang sama, “Semua sistem hukum di dunia mengembangkan fitur-fitur kebahasaan yang berbeda dari bahasa umum”. Dua profesor itu masing-masing memiliki gelar akademik dalam bidang ilmu bahasa dan ilmu hukum sekaligus.
Berdasarkan keterangan dua pakar itu merujuk pada konsep register dalam ilmu bahasa. Register adalah penggunaan bahasa dengan ragam khusus berdasarkan konteks. Konteks yang dimaksud adalah interaksi di antara orang-orang dengan kesamaan kepentingan atau pekerjaan (profesi). Jadi, bahasa hukum adalah suatu register hukum. Istilah teknis lain yang bisa digunakan adalah bahasa ragam hukum atau laras bahasa hukum.
Kajian bahasa hukum sebenarnya sudah cukup lama dikenal di Indonesia. Sebuah forum nasional pernah digelar khusus untuk topik bahasa hukum pada tahun 1974. Para pakar hukum dan bahasa serta Menteri Kehakiman hadir di sana. Simposium Bahasa dan Hukum kala itu berlangsung pada 25-27 November 1974 di Prapat, Sumatera Utara.
Salah satu hasil kajian Simposium Bahasa dan Hukum mengakui bahwa bahasa hukum Indonesia perlu dikembangkan serius. Selain itu, para akademisi dan dan praktisi hukum didorong untuk meningkatkan keterampilan berbahasa. Penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan pun disarankan melibatkan ahli bahasa.
Hukumonline mencatat ada tiga profesor hukum dari Universitas Indonesia pernah memberi perhatian khusus soal bahasa hukum. Mereka mengangkat persoalan itu di tahun 80-an dalam ulasan jurnal ilmiah hukum. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menulis artikel berjudul “Pendidikan Hukum dan Bahasa Hukum” dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan tahun 1983. Padmo Wahjono menulis di jurnal yang sama pada tahun itu dengan judul “Beberapa Permasalahan Bahasa Hukum di Indonesia”.
Tiga pakar itu menyadari bahwa bahasa hukum Indonesia pada dasarnya adalah bahasa Indonesia yang digunakan dalam bidang hukum. Padmo mengatakan dengan tegas, “Sarjana hukum haruslah seorang yang menguasai bahasa yang dipakai untuk merumuskan hukum tersebut, suatu syarat yang mutlak, yang di masa akan datang akan merupakan suatu keharusan yang sewajarnya”.
Padmo menegaskan seorang sarjana hukum harus bisa merumuskan segala hal terkait hak dan kewajiban subjek hukum dengan sarana bahasa. “Dapat dikatakan bahwa hukum tiada lain adalah bahasa yang diterapkan untuk kewajiban dan ketertiban bermasyarakat dan bernegara,” katanya.
Rumit dan Berbelit-belit
The Oxford Handbook of Language and Law mencatat bahwa tren perkembangan bahasa hukum di seluruh sistem hukum dunia begitu rumit dan berbelit-belit. Bahkan, fitur-fitur khas dalam bahasa hukum justru menabrak kaidah bahasa umum di masing-masing sistem hukum. Persoalan semakin rumit saat globalisasi mendorong pencangkokan konsep, teori, bahkan sistem hukum lintas negara. Bahasa hukum semakin sulit untuk tetap sejalan dengan kaidah bahasa umum di masing-masing negara.
Akibatnya, masyarakat awam di luar kalangan akademisi dan praktisi hukum makin kesulitan memahami hukum. Sejumlah pakar hukum di Barat menyadari masalah itu. Setidaknya mereka sudah memulai upaya penyederhanaan bahasa hukum demi kepentingan publik sejak tahun 60-an. Upaya itu didorong kesadaran bahwa warga negara harusnya mudah untuk memahami hak dan kewajibannya yang tertuang dalam hukum negara. Profesor hukum asal Amerika Serikat bernama David Mellinkof termasuk pionir yang mengkritik keras rumit dan berbelitnya bahasa hukum Inggris. Upaya di Barat itu telah menghasilkan the plain legal language movement.
Bagaimana dengan di Indonesia? Penelusuran Jurnal Hukum Jentera terbitan Agustus 2002 sebagai ulasan agak mendalam terakhir tentang bahasa hukum Indonesia. Topik bahasa hukum beserta sejumlah masalah serta dampaknya pada kehidupan berhukum Indonesia sudah lama tenggelam.
Berbeda dengan berlimpahnya literatur ilmiah soal bahasa hukum di Barat, sangat sedikit literatur tentang bahasa hukum di Indonesia. Hukumonline hampir tidak menemukan literatur dalam topik khusus bahasa hukum di Indonesia. Literatur yang ada juga sebagian besar mengulang-ulang ulasan buku lainnya tanpa ada hal baru.
Pakar hukum yang juga pakar bahasa hukum pun tidak ditemukan di Indonesia. Bandingkan misalnya dengan Mattila dan Tiersma yang kompeten sebagai profesor hukum dan bahasa hukum. Buku-buku dan hasil riset karya keduanya dalam topik bahasa hukum dikenal luas secara internasional.
Mungkin ada benarnya pendapat Marsillam Simanjuntak, mantan Jaksa Agung dan Menteri Kehakiman di era awal reformasi Indonesa, dalam petikan wawancara untuk Jurnal Hukum Jentera terbitan Agustus 2002. “Persoalan bahasa hukum memang penting, tapi bukan prioritas pertama. Yang jadi soal ialah bagaimana membangun budaya hukum dalam masyarakat, sehingga bisa menghargai aturan hukum tertulis”.
Pernyataan Marsillam itu bukan berarti pengembangan bahasa hukum Indonesia tidak penting. Ia menegaskan kembali pendapatnya, “Membuat bahasa hukum yang bisa lebih dimengerti tentu merupakan bagian yang penting juga.”
Multamia Lauder, profesor linguistik Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, pernah mengajukan pertanyaan serius pada reporter Hukumonline. “Indonesia adalah negara hukum. Bukankah seharusnya bahasa hukum membantu masyarakat bisa menjalankan hukum sebaik mungkin? Bahasa hukum juga bagian dari budaya hukum itu sendiri”. Perempuan yang akrab disapa Mia ini adalah pakar bahasa yang juga pemerhati dunia hukum Indonesia.
Mungkin, sangat perlu mengingat kembali rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia Kesembilan di Jakarta pada 28 Oktober-1 November 2008. Tertulis di sana, “Dalam meningkatkan kualitas bahasa hukum dalam peraturan perundang-undangan, diperlukan ahli bahasa yang memahami hukum dan ahli hukum yang mempunyai kemahiran berbahasa Indonesia.”