PIJAR-JAKARTA – Di penghujung tahun 2022, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Alasan di balik penerbitan Perppu tersebut sebagai bentuk antisipasi gejolak ekonomi global dan perekonomian nasional. Padahal, sesuai Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 tertanggal 25 November 2021, pembentuk UU diamanatkan memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun sejak putusan diiucapkan.
“Kalau ada niat dan tulus untuk bangsa dan negara, tindak lanjut putusan MK soal uji formil UU Cipta Kerja tidak sulit untuk dikerjakan dalam waktu 2 tahun. Sekarang masih ada waktu 7 bulan sebelum tenggat waktu berakhir pada November 2023,” kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI 2003-2008, Prof Jimly Asshiddiqie, Rabu (4/1/2022).
Ia menilai waktu 7 bulan dapat dipergunakan untuk menyusun UU baru sekaligus memperbaiki substansi atau materi pasal ataupun ayat yang selama ini dipermasalahkan masyarakat. Dengan tentunya membuka ruang partisipasi publik yang meaningful dan substansial sebagaimana mandat dalam amar putusan MK itu.
Menurutnya, terbitnya Perppu Cipta Kerja jelas melanggar prinsip negara hukum, tapi dicari-carikan alasan pembenarannya. Sampai-sampai peranan MK dan DPR diabaikan. Alih-alih mencerminkan rule of law yang baik, hal tersebut malah menjadi contoh rule by law yang kasar dan sombong menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) itu.
“Kalau sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap (penolakan, red) mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup, bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment. Kalau mayoritas anggota DPR siap, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment itu. Atau, bisa juga usul Perppu Cipta Kerja tersebut memang sengaja untuk menjeruskan Presiden Jokowi untuk pemberhentian di tengah jalan.”
Baginya, bila terdapat sarjana hukum yang ngotot membenarkan terbitnya Perppu Cipta Kerja ini, sama saja tidak akan sulit memberi pembenaran dalam hal penerbitan Perppu Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden. “Semua ini akan jadi puncak konsolidasi Parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya. Karena itu, sebaiknya semua kembali setia kepada norma tertinggi yang sudah disepakati yaitu Pancasila dan UUD Tahun 1945, jangan khianati!”
Kegentingan memaksa?
Senada, Mantan Ketua MK 2013-2015 Dr. Hamdan Zoelva menyampaikan bahwa Presiden masih memiliki waktu yang cukup hingga November 2023. Namun bila melihat Pasal 22 UUD Tahun 1945, memang terdapat kewenangan Presiden mengeluarkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan memaksa.
“Pertanyaannya, apakah itu sebenarnya kegentingan memaksa? Dalam hal ini MK di tahun 2010 sudah pernah memutuskan dalam Putusan MK No.138/PUU-VII/2009. Di sana kegentingan memaksa harus memenuhi 3 syarat,” ungkap Hamdan ketika dikonfirmasi Hukumonline, Rabu (4/1/2023).
Pertama, adanya satu kondisi kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, pada saat itu UU-nya belum ada atau ada kekosongan hukum, sehingga tindakan itu tidak bisa dilakukan. Ketiga, kekosongan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam waktu singkat dengan membuat UU baru karena akan membutuhkan proses yang lama.
Menjawab apakah penerbitan Perppu Cipta Kerja itu telah memenuhi ketiga kondisi tersebut, Hamdan Kembali mengingatkan UU Cipta Kerja masih berlaku sampai bulan November 2023. Dengan kata lain, masih terdapat UU yang cukup dan memadai untuk menyelesaikan masalah yang ada.
“Ada problem konstitusional ketika Perppu ini dibuat yang tidak memenuhi ihwal kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 22 UUD Tahun 1945. Padahal, Putusan MK itu sendiri untuk menghindari subjektivitas Presiden yang terlalu tinggi. Karenanya, MK memberikan batasan 3 syarat itu tadi yang saya sampaikan,” terangnya.
Tetapi pada akhirnya, sambung Hamdan, Perppu Cipta Kerja di masa sidang yang akan datang harus disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Artinya, keputusan politik ada di tangan DPR. Namun, bila memang masyarakat keberatan terhadap Perppu ini bisa juga melakukan uji materi ke MK terkait alasan formil prosedural dan alasan penerbitan Perppu.
“Kita tunggu saja proses hukumnya yaitu proses politik di DPR dan saat yang sama bisa juga dengan proses hukum di MK bagi yang keberatan. Dalam negara hukum itu tidak hanya tujuan hukum yang langsung ingin dicapai, tapi due process-nya itu penting sekali. Padahal, kita belum mulai soal substansi atau materilnya, tapi due process-nya tidak sesuai dengan hukum dan konstitusi yang ada.”
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak guna mengantisipasi kondisi global. Mulai aspek ekonomi hingga geopolitik. Untuk itu, Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global di sektor ekonomi.
“Kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga dalam keterangan pers bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Presiden, Jum’at (30/12/2022) seperti dikutip setkab.go.id.
Menkopolhukam M. Mahfud MD mengatakan penerbitan Perppu 2/2022 karena adanya alasan mendesak. Alasan mendesak sebagaimana disebutkan Airlangga. Seperti dampak perang Rusia-Ukraina berpengaruh secara global maupun nasional mengancam meningkatnya inflasi, stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, krisis pangan. Untuk itu, Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis secepatnya.
“Pertimbangan hukum dan peraturan perundang-undangan atas terbitnya Perppu 2/2022 karena adanya kebutuhan mendesak sesuai Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009,” kata Mahfud MD. Menurutnya, keberadaan Perppu 2/2022 pun secara otomatis menggantikan UU 11/2020 yang disusun menggunakan metode omnibus law.