PIJAR-JAKARTA – Sejak awal pembahasan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kalangan serikat buruh merupakan salah satu elemen masyarakat sipil yang memprotes keras terbitnya beleid tersebut. Substansi UU Cipta Kerja yang merevisi sejumlah ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara umum merugikan buruh. Hal serupa juga dialami kelompok masyarakat lainnya, seperti petani, masyarakat hukum adat dan nelayan karena UU Cipta Kerja semakin mempermudah peluang terjadinya perampasan tanah rakyat.
Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI, Said Iqbal, menilai setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK), ada 2 cara yang bisa dilakukan untuk membenahi UU Cipta Kerja. Pertama, melalui program legislasi nasional. Kedua, menerbitkan Perppu.
Iqbal menegaskan pihaknya tidak memilih opsi pertama dimana perbaikan UU Cipta Kerja dilakukan melalui pembahasan oleh pemerintah dan DPR. Menurutnya, hal itu mengembalikan lagi pembahasan UU Cipta Kerja seperti sebelumnya ketika pertama dibentuk. Akan ada tarik menarik kepentingan, apalagi akan masuk tahun politik jelang perhelatan Pemilu 2024.
Pengalaman kalangan serikat buruh ketika pembahasan RUU Cipta Kerja menurut Iqbal menjadi pelajaran berharga mengingat semua konsep yang ditawarkan kepada DPR tidak digunakan. Pengesahan RUU Cipta Kerja kala itu juga dilakukan terburu-buru. Alhasil, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja isinya mengecewakan karena merugikan kalangan buruh dan elemen masyarakat lainnya.
“Kami usul klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja dikembalikan lagi sebagaimana aturan UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,” kata Iqbal dalam keterangannya, Sabtu (31/12/2022).
Mengingat pengalaman pahit pembahasan RUU CIpta Kerja itu Iqbal mengatakan pihaknya tidak lagi percaya dengan anggota DPR yang ada sekarang. Oleh karena itu, dia menolak jika revisi UU Cipta Kerja dilakukan di DPR melalui mekanisme prolegnas. Ia menilai lebih baik menggunakan mekanisme Perppu. Tapi Iqbal menegaskan harus ada kondisi kedaruratan untuk diterbitkan Perppu.
Menurutnya, ada beberapa hal yang layak menjadi alasan kedaruratan bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja antara lain darurat upah buruh dimana selama 3 tahun berturut-turut tidak naik. Padahal perekonomian dalam kondisi baik.
Mandeknya kenaikan upah buruh akibat ketentuan yang diatur dalam UU Cipta Kerja yang mengatur antara lain kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Padahal sebelumnya diatur kenaikan upah minimum diantaranya mengacu pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Praktik outsourcing juga mengalami kondisi kedaruratan karena UU Cipta Kerja membebaskan penggunaan outsourcing untuk semua jenis pekerjaan. Berbeda dengan aturan sebelumnya yang membatasi praktik outsourcing hanya untuk pekerjaan penunjang yang dibatasi 5 jenis. Begitu juga pesangon buruh mengalami kedaruratan karena UU Cipta Kerja memangkas besaran pesangon yang diterima buruh.
Aturan bank tanah dalam UU Cipta Kerja membuat kedaruratan bagi petani dan masyarakat hukum adat karena potensi perampasan tanah rakyat semakin mudah. “Darurat pemutusan hubungan kerja (PHK) karena UU Cipta Kerja membuat buruh mudah mengalami PHK dan darurat pekerja kontak karena periode kontrak bisa dilakukan berulang kali. Dengan dasar kedaruratan itu kami memilih Perppu,” dalih Iqbal.
Iqbal menekankan alasan kedaruratan yang diusulkan itu berbeda dengan dalih kedaruratan pemerintah dalam menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Dia juga menolak jika nanti substansi Perppu tersebut bertentangan dengan usulan serikat buruh.
Iqbal mengatakan ada sejumlah poin utama yang diusulkan untuk diatur dalam Perppu Cipta Kerja. Misalnya, mengembalikan ketentuan kenaikan upah minimum seperti yang diatur sebelumnya dalam UU No.13 Tahun 2003. Kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Begitu juga survei kebutuhan hidup layak (KHL). Kemudian pembatasan outsourcing, membenahi aturan pesangon, pekerja kontrak, dan perlindungan buruh dari PHK.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo, mengatakan Perppu dipilih karena ada ancaman ketidakpastian global. Menurutnya, kondisi global sekarang ini tidak dalam keadaan baik. Jokowi menjelaskan sampai saat ini setidaknya ada 14 negara yang menjadi “pasien” IMF dan ada 28 negara lainnya mengantri.
“Dunia ini sedang tidak baik-baik saja. Ancaman risiko ketidakpastian itu yang menyebabkan kita mengeluarkan Perppu untuk kepastian hukum,” kata Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers, Jum’at (30/12/2022).
Ketidakpastian global itu menurut Jokowi menjadi persepsi para investor baik dari dalam dan luar negeri. Sehingga perlu ada kepastian hukum mengingat ekonomi Indonesia di tahun 2023 sangat bergantung pada investasi dan ekspor.