PIJARJAKARTA – Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat, (30/12/2022).
Pada hari yang sama Perppu ini disampaikan ke publik oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD serta Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej melalui siaran pers di Kantor Presiden, Jakarta.
Namun hingga Sabtu, (31/12/2022) naskah Perppu ini belum dapat diakses, baik oleh DPR maupun masyarakat. Sekretaris Fraksi PKS DPR RI Ledia Hanifa Amaliah menyayangkan hal tersebut dan menyebut Perppu baru ini sebagai bencana undang-undang.
“Kehadiran Perppu nomor 2 tahun 2022 ini dapat dikatakan sebagai satu bencana undang-undang, karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hierarki perundang-undangan di negeri ini,” ucap Ledia.
Ledia melanjutkan, UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada November 2021 dan memerintahkan untuk diperbaiki dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
“Jadi, MK secara lugas memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan pada UU Cipta Kerja ini dengan tenggat hingga November 2023. Namun, bukannya melaksanakan amanah perintah perbaikan UU tersebut bersama DPR, Presiden Jokowi malah menerbitkan produk hukum baru berupa Perppu. Yang diamanahkan apa, yang dikerjakan apa,” sambungnya.
Langkah Jokowi ini, menurut Ledia, juga menunjukkan betapa pemerintah itu malas dan menggampangkan pelanggaran terhadap hierarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR.
“Pemerintah masih punya waktu satu tahun untuk melaksanakan perintah MK memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja. Seharusnya melibatkan publik dan membahasnya bersama DPR, tetapi yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hierarki perundang-undangan, dan melecehkan DPR yang menurut UUD NRI 1945 pasal 20 ayat 1 dan 2 memiliki kuasa membentuk undang-undang bersama Presiden,” jelas Ledia.
Anggota Legislatif dari daerah pemilihan Kota Bandung dan Kota Cimahi ini tidak menafikan bahwa Presiden memiliki hak prerogatif menerbitkan Perppu. Namun syarat kehadiran Perppu No 2 Tahun 2022 ini tidak kuat dan terlalu dipaksakan.
“Salah satu syarat kehadiran Perppu adalah kegentingan yang memaksa dan ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa. Mana situasi genting yang kita hadapi? Mana ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa? Yang ada justru keputusan pemaksaan dari Presiden yang mencederai kehidupan demokratis.”
Alasan kegentingan terkait ancaman resesi global, peningkatan inflasi, hingga ancaman stagflasi yang bahkan dikaitkan pula dengan perang Rusia-Ukraina menurut Ledia terlalu berlebihan.
“Pemerintah sendiri yang mengingatkan kita betapa Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positif di atas 5 persen. Kita masih punya harapan positif menghadapi tahun-tahun mendatang, sehingga penerbitan Perppu ini sekali lagi tidak memiliki alasan yang cukup kuat kecuali sekedar memuaskan kemauan para pengusaha,” sambungnya.
Karena itu, Ledia mendorong DPR untuk menolak Perppu ini dan meminta pemerintah taat pada perintah MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.
“Buka partisipasi publik, dengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan, duduk bersama DPR membahas Undang-Undang demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Itu baru langkah demokratis yang berlandaskan nilai Pancasila, musyawarah mufakat. Jangan menutup tahun dengan menjadi pemerintah yang otoriter, pro pengusaha dan meninggalkan rakyat,” tutup Ledia dengan tegas. [PKS/ary]