PIJAR-JAKARTA – Pada Jum’at 30 Desember 2022, secara tiba-tiba Pemerintah mengumumkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Padahal, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat melalui Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tertanggal 25 November 2021.
Dalam Putusan itu, MK memerintahkan pembentuk Undang-Undang (UU) melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak diperbaiki (hingga 25 November 2023), UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
MK juga memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja. Namun, bukannya memperbaiki UU Cipta Kerja melalui proses partisipasi publik secara bermakna, Pemerintah malah menerbitkan Perppu tersebut.
Koordinator Tim Kuasa Hukum Pengujian Formil UU No.11 Tahun 2020 melalui terbitnya Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020, Viktor Santoso Tandiasa menilai penerbitan Perppu No.2 Tahun 2022 yang mencabut UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bentuk perbuatan melanggar hukum dan pembangkangan konstitusi.
“Ini bentuk tindakan perbuatan melanggar hukum Pemerintah atas putusan MK. Bahkan dapat dikatakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi. Amanat putusan MK adalah memperbaiki prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dan memaksimalkan partisipasi publik, namun pemerintah malah mengambil jalan pintas dengan mengeluarkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” ujar Viktor, Jum’at (30/12/2022).
Ia melanjutkan dalam penalaran yang wajar DPR akan menyetujui Perppu tersebut menjadi UU, sehingga Pemerintah tidak melaksanakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. “Intinya, terbitnya Perppu Cipta Kerja ini untuk ngapusi atau ngakalin,” tegasnya.
Viktor mengingatkan amanat Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 sudah jelas, apabila UU Cipta Kerja dalam 2 Tahun (hingga 25 November 2023) tidak diperbaiki akan dianggap inkonstitusional secara permanen. Namun ternyata Pemerintah bukannya memanfaatkan 2 tahun ini untuk memperbaiki, tapi malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja itu.
Terpisah, YLBHI mengecam penerbitan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Ia menilai penerbitan Perppu ini jelas bentuk pembangkangan, pengkhianatan atau kudeta terhadap Konstitusi RI. Hal ini gejala yang makin menunjukkan otoritarianisme pemerintahan Joko Widodo. Ini semakin menunjukkan Presiden tidak menghendaki pembahasan kebijakan yang sangat berdampak pada seluruh kehidupan bangsa dilakukan secara demokratis melalui partisipasi bermakna (meaningful participation) sebagaimana diperintahkan MK.
“Presiden justru menunjukkan kekuasaan ada di tangannya sendiri, tidak memerlukan pembahasan di DPR, tidak perlu mendengarkan dan memberi kesempatan publik berpartisipasi. Hal ini jelas bagian dari pengkhianatan konstitusi dan melawan prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis,” ujar Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur, Jum’at (30/12/2022).
Tidak memenuhi syarat
Bagi YLBHI, penerbitan Perppu ini jelas tidak memenuhi syarat yakni adanya hal ihwal kegentingan yang memaksa, kekosongan hukum, dan proses pembuatan tidak bisa dengan proses pembentukan UU seperti biasa sesuai amanat Putusan MK No.138/PUU-VII/2009. Presiden seharusnya mengeluarkan Perppu Pembatalan UU Cipta Kerja sesaat setelah UU Cipta Kerja disahkan, karena penolakan yang masif dari banyak elemen masyarakat.
Akan tetapi, saat itu Presiden justru meminta masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja melakukan judicial review ke MK. Saat MK memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, Presiden justru mengakalinya dengan menerbitkan Perppu. Perintah MK jelas Pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, bukan menerbitkan Perppu. Dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia adalah mengada-ada dan tidak masuk akal sebagai alasan penerbitan Perppu ini.
“Alasan kekosongan hukum juga alasan yang tidak berdasar dan justru menunjukkan inkonsistensi. Pemerintah selalu mengklaim UU Cipta Kerja masih berlaku walau MK sudah menyatakan inkonstitusional bersyarat,” bebernya.
MK dalam putusannya juga melarang Pemerintah membentuk peraturan-peraturan turunan pelaksana dari UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Tetapi dalam perjalanannya Pemerintah terus membentuk peraturan turunan.
Menurutnya, penerbitan Perppu Cipta Kerja ini juga menunjukkan konsistensi ugal-ugalan dalam pembuatan kebijakan demi memfasilitasi kehendak investor dan pemodal. Ini jelas tampak dari statemen Pemerintah saat konferensi pers bahwa penerbitan Perppu ini adalah kebutuhan kepastian hukum bagi pengusaha, bukan untuk kepentingan rakyat keseluruhan.
Penerbitan Perppu ini semakin melengkapi ugal-ugalan Pemerintah membuat kebijakan, seperti UU Minerba, UU IKN, UU Omnibus Law Cipta Kerja, Revisi UU KPK yang melemahkan, Revisi UU Mahkamah Konstitusi, UU KUHP, dan kebijakan-kebijakan lain. “Penerbitan Perppu di ujung tahun juga menunjukkan bahwa Presiden tidak menghendaki ada reaksi dan tekanan dari masyarakat dalam bentuk demonstrasi dan lainnya, karena mengetahui warga dan masyarakat sedang dalam liburan atau cuti akhir tahun,” sindirnya.
Atas dasar itu, YLBHI menyampaikan sejumlah tuntutan. Pertama, menuntut Presiden melaksanakan Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 dengan melakukan perbaikan UU Cipta Kerja dengan syarat-syarat yang diperintahkan MK. Kedua, menarik kembali Perppu No.2 Tahun 2022. Ketiga, menyudahi kudeta dan pembangkangan terhadap konstitusi. Keempat, mengembalikan semua pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip konstitusi, negara hukum yang demokratis, dan hak asasi manusia (HAM).
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak guna mengantisipasi kondisi global. Mulai aspek ekonomi hingga geopolitik. Untuk itulah, Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global di sektor ekonomi.
“Kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi,” ujar Airlangga dalam keterangan pers bersama Menkopolhukam Mahfud MD dan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej di Kantor Presiden, Jum’at (30/12/2022) seperti dikutip setkab.go.id
Di sisi geopolitik, kata Airlangga, dunia dihadapkan pada perang Ukraina-Rusia dan konflik lainnya yang juga belum selesai. “Pemerintah menghadapi, tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim,” ujarnya.
Menurut Airlangga, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja sangat mempengaruhi perilaku dunia usaha baik di dalam maupun di luar negeri. Pemerintah terus berupaya menjaring investasi sebagai salah satu kunci pertumbuhan ekonomi. Karena itu, keberadaan Perppu ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum, termasuk bagi pelaku usaha.
Airlangga juga menyampaikan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah berbicara dengan Ketua DPR RI Puan Maharani terkait dengan penerbitan Perppu ini. “Tadi Bapak Presiden telah berkonsultasi, sudah berbicara dengan Ketua DPR dan pada prinsipnya Ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perppu tentang Cipta Kerja ini.”
Menkopolhukam M. Mahfud MD mengatakan penerbitan Perppu 2/2022 karena adanya alasan mendesak. Alasan mendesak sebagaimana disebutkan Airlangga. Seperti dampak perang Rusia-Ukraina berpengaruh secara global maupun nasional mengancam meningkatnya inflasi, stagflasi, krisis multisektor, suku bunga, kondisi geopolitik, krisis pangan. Untuk itu, Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis secepatnya.
“Pertimbangan hukum dan peraturan perundang-undangan atas terbitnya Perppu 2/2022 karena adanya kebutuhan mendesak sesuai Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009,” kata Mahfud MD. Menurutnya, keberadaan Perppu 2/2022 pun secara otomatis menggantikan UU 11/2020 yang disusun menggunakan metode omnibus law.