PIJAR-JAKARTA – Pelanggaran hak cipta kian marak terjadi di zaman modern saat ini. Pada dasarnya pelindungan hak cipta diberikan secara otomatis sejak karya cipta tersebut dihasilkan. Namun, agar hak cipta memiliki bukti otentik dalam hal pembuktian di pengadilan, maka hak cipta harus didaftarkan oleh penciptanya.
Pencipta sebuah karya berhak untuk memperjuangkan haknya khususnya jika terjadi pelanggaran ciptaan yang merupakan miliknya. Mengutip Pasal 95 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, terdapat tiga bentuk sengketa terkait hak cipta yaitu perbuatan melawan hukum, perjanjian lisensi, dan sengketa mengenai tarif dalam penarikan imbalan atau royalti.
“Sengketa hak cipta bisa dihindari dengan melakukan klaim hak cipta terlebih dahulu, pengklaiman ini bisa dilaporkan melalui Kementerian Hukum dan HAM sehingga pencipta mendapatkan dokumen resmi sebagai bukti ciptaan tersebut milik kita,” tutur Ratri Ninditya selaku Koordinator Peneliti Kebijakan Seni Budaya Koalisi Seni.
Ninin sapaan akrabnya, menyatakan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan agar hak cipta seorang pencipta dilindungi. Hal ini jarang di sosialisasikan, sehingga masih terjadi gap antara peraturan dengan seniman.
“Pertama kita catatkan hak cipta di Kemenkumham, walaupun hak cipta itu berlaku secara otomatis tetapi kalau ada apa-apa kita butuh bukti pendukung. Untuk itu kita lakukan dengan pencatatan di Kemenkumham,” jelasnya.
Selain pencatatan di Kemenkumham, Ninin turut mengimbau para seniman yang membuat lisensi dengan pihak lain untuk harus mencatatkan lisensi itu di Kemenkumham.
“Lisensi ini tetap kita catatkan di Kemenkumham karena pemerintah memiliki wewenang menolak atau menerima lisensi,” kata dia.
Di dalam undang-undang, diluar dari kasus pembajakan akan cenderung pemrosesan penyelesaiannya tidak melalui litigasi karena untuk mencapai penyelesaian sengketa melalui proses litigasi akan berlangsung panjang dan menjadi beban negara.
“Jika pembajakan yang dilakukan secara masif dan media melakukan pemberitaan dimana-mana, maka bisa dengan cepat melalui jalur litigasi, dan untuk tata cara litigasi bisa dilihat lebih lanjut di situs Kemenkumham,” lanjut Ninin.
Saat ini pembajakan karya oleh seniman dapat dilaporkan dengan cara alternatif melalui platform dimana karya tersebut di publis. Saat ini setiap platform memiliki kebijakan mengenai hak cipta, sehingga seniman yang membagikan karyanya di media digital dapat langsung mengetahui jika karyanya dibajak oleh orang lain.
“Platform yang ada saat ini memiliki kebijakan melakukan pencatatan dari seorang pencipta yang membagikan karyanya pertama kali. Ketika menemukan karya kita di internet, kita dapat melakukan semacam komplain dengan mengajukan seluruh bukti. Tetapi, seniman harus jeli melihat, apakah karya tersebut sudah di klaim atau belum karena kalau sudah di klaim maka platform tidak mau tahu sehingga monetasi tetap berjalan kepada pemilik pertama kali yang mempublis,” ungkapnya.
Kemudian terkait upaya hukum, sebuah platform memiliki masing-masing proses penyelesaian sengketa. Hal ini dikemukakan oleh Hamalatul Qur’ani selaku Jurnalis Hukumonline yang menyatakan penyelesaian tersebut dapat berupa jalur litigasi atau teguran dari platform sehingga karya yang dilanggar hak ciptanya dapat di takedown dari platform tersebut.
“Setiap perusahaan mempunyai kebijakan masing-masing. Biasanya di platform digital, seniman mengajukan somasi terkait pelanggaran hak cipta. Setelah itu baru dilakukan mediasi dan negosiasi melalui arbitrase atau masuk ke jalur perdata di Pengadilan Niaga,” ujar Mala.
Secara yurisdiksi ketentuan pengadilan mengenai pelanggar hak cipta yang terjadi di Indonesia hanya bisa dilakukan lewat pengadilan Indonesia, dan pelanggar hak cipta yang terjadi di luar negeri, maka berlaku hukum dari negara tersebut.