PIJAR-JAKARTA – Kinerja Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bidang legislasi telah melakukan penyusunan, pembahasan hingga pengambilan persetujuan menjadi UU mewarnai sepanjang tahun 2022. Hanya saja, sebagian elemen masyarakat mempertanyakan kualitas beberapa produk UU yang dihasilkan DPR dan pemerintah.
Penandanya, adanya uji materi sebuah UU oleh publik ke Mahkamah Konstitusi (MK). Atau, bisa jadi RUU yang baru disetujui menimbulkan kontra dari berbagai lapisan masyarakat. Lantas, apa saja UU yang telah dihasilkan DPR dalam proses pembentukannya bersama pemerintah maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang masuk dalam kategori menarik perhatian publik sepanjang 2022?
Pertama, UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Dalam proses pembentukannya, pembahasan RUU tentang IKN antara Komisi II dengan pemerintah berjalan marathon. Ya, pembahasan hanya berproses selama 42 hari. Pengambilan keputusan tidak mendapat persetujuan secara bulat dalam rapat paripurna, Selasa (18/1/2022) lalu. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak persetujuan terhadap RUU IKN menjadi UU.
Sementara delapan fraksi lain bersepakat memberi persetujuan untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna. UU IKN yang berlaku secara resmi pada 15 Februari 2022 itu memuat 11 Bab dan 44 Pasal. Namun belum genap satu tahun, pemerintah menginisiasi UU 3/2022 untuk direvisi dengan memasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2023 dengan nomor urut 35.
Kedua, RUU Pembentukan 7 Provinsi menjadi UU. Pembahasan terhadap 7 RUU pembentukan provinsi juga berlangsung marathon. Dalam kurun waktu satu bulan, DPR dan pemerintah merampungkan pembahasan. Ketujuh RUU Pembentukan Provinsi itu antara lain RUU tentang Provinsi Sulawesi Selatan, RUU tentang Provinsi Sulawesi Utara, RUU tentang Provinsi Sulawei Tengah, RUU tentang Provinsi Sulawesi Tenggara, RUU tentang Provinsi Kalimantan Selatan, RUU tentang Provinsi Kalimantan Barat, dan RUU tentang Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan demikian, setiap provinsi memiliki UU pembentukannya masing-masing, tidak digabung dalam satu UU. Hal tersebut sejalan dengan amanat dalam Pasal 18 ayat (1) UUD Tahun 1945. Harapannya dengan pembentukan UU tersebut mampu menjawab perkembangan, permasalahan, dan kebutuhan hukum pemerintah daerah.
Ketiga, UU Keolahragaan. Pertengahan bulan kedua di 2022, DPR berhasil menyetujui RUU tentang Keolahragaan menjadi UU. Keputusan itu diambil secara bulat dalam rapat paripurna, Selasa (15/2/2022) lalu. Sejatinya, UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan ini merevisi UU No.3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN).
Perubahan UU di sektor keolahragaan sebagai upaya mengkontruksikan penataan lembaga keolahragaan dalam tatanan sistem hukum nasional agar tidak terjadi benturan atau konflik satu sama lain. Sebaliknya, saling melengkapi dan harmonis dalam tujuan penyelenggaraan keolahragaan nasional sebagaimana termaktub dalam konstitusi guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Keempat, kandasnya RUU Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) yang digagas DPD. Keputusan tidak melanjutkan pembahasan RUU BUMDes diambil secara musyawarah mufakat antara Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama pemerintah dan DPD dalam rapat kerja di Komplek Gedung DPR, Kamis (27/1/2022) lalu.
Tapi, Baleg dan DPR bakal memastikan materi RUU BUMDes dapat diterapkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Namun, materi PP 11/2021 perlu diperbaiki dengan memasukkan materi yang diatur dalam RUU BUMDes sebagaimana usulan DPD. Pemerintah pun diingatkan agar segera merevisi PP 11/2021. Bila abai terhadap warning ini, DPD dipersilakan mengajukan lagi RUU BUMDes dalam Prolegnas Prioritas. Keputusan tidak melanjutkan RUU BUMDes disebabkan materi RUU BUMDes telah diatur dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa, UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan PP 11/2021.
Kelima, penghentian pembahasan Revisi UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Banyak bencana yang terjadi di tanah air mendorong DPR menginisiasi RUU tersebut masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2022. Tapi dalam perkembangan pembahasannya berujung dihentikan. Alasannya, pemerintah kekeuh enggan menyebutkan nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BNPD) secara eksplisit dalam draf RUU, cukup diatur dalam aturan turunan. Bagi DPR, RUU ini bertujuan menguatkan kewenangan dari BNPB maupun BNPD dari aspek anggaran, koordinasi dan lainnya.
Keenam, persetujuan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU. Setelah melalui perdebatan panjang, dorongan masyarakat sipil agar memiliki payung hukum berupa UU TPKS akhirnya terwujud. RUU TPKS resmi disetujui menjadi UU pada Selasa (12/4/2022) lalu. Namun, UU No.12 Tahun 2022 tentang TPKS yang resmi diundangkan pada 9 Mei 2022 memuat 12 Bab, 93 Pasal hingga dipenghujung tahun belum juga terdapat aturan pelaksana.
Ada sejumlah terobosan progresif yang dibuat pembentuk UU. Seperti kualifikasi jenis tindak pidana seksual, beserta tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai TPKS sebagaimana diatur ketentuan peraturan perundangan lain. Pengaturan hukum acara yang komprehensif dan pengakuan dan jaminan hak korban atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan, sejak terjadinya TPKS yang merupakan kewajiban negara dan dilaksanakan sesuai kondisi dan kebutuhan korban. Tak hanya itu, ada perhatian negara yang besar terhadap penderitaan korban dalam bentuk restitusi, kompensasi, hingga penyelesaian perkara tidak dapat dilakukan di luar peradilan, kecuali terhadap pelaku anak.
Ketujuh, RUU Pemasyarakatan. Setelah sempat terganjal pengambilan keputusan tingkat II terhadap Revisi UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan di penghujung 2019 lalu, akhirnya resmi diambil keputusan. RUU tentang Pemasyarakat resmi disetujui dan disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna pada Kamis (7/7/2022). RUU Pemasyarakatan menjadi UU No.22 Tahun 2022 itu memuat sebelas substansi. Mulai penguatan posisi pemasyarakatan dalam sistem peradilan pidana terpadu, perluasan cakupan dari tujuan sistem pemasyarakatan, hingga pengaturan mengenai kerja sama dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.
Kedelapan, payung hukum perlindungan data pribadi. Setelah melalui pembahasan RUU tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) antara DPR dan pemerintah selama dua tahun, akhirnya berhasil dirampungkan dan disetujui menjadi UU PDP. Kesepakatan persetujuan diambil secara bulat tanpa ada perdebatan dalam rapat paripurna, Selasa (20/9/2022). Beleid itu menjadi payung hukum yang kuat dalam memastikan negara menjamin kepastian perlindungan data pribadi warganya.
Namun demikian, keberadaan UU No.27 Tahun 2022 tentang PDP tak lepas dari beragam kritikan. Mulai ‘ketidaksetaraan’ rumusan sanksi yang dapat diterapkan terhadap sektor publik dan sektor privat ketika terjadi pelanggaran. Begitu pula risiko over-criminalization menjadi sorotan dari keberlakuan UU PDP. Khususnya akibat kelenturan rumusan Pasal 65 ayat (2) jo Pasal 67 ayat (2) UU PDP. Intinya, pasal tersebut mengancam pidana terhadap seseorang (individu atau korporasi) yang mengungkapkan data pribadi bukan miliknya secara melawan hukum.
Kesembilan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU. Setelah melalui pembahasan dalam kurun waktu 7 tahun, DPR dan pemerintah akhirnya mengambil keputusan persetujuan terhadap RKUHP menjadi UU. Setelah sebelumnya pemerintah telah menggelar berbagai dialog dan sosialisasi ke 22 kota besar di Indonesia dalam kurun waktu antara 2021-2022. Namun begitu, pengambilan keputusan persetujuan pun tak lepas dari banyak penolakan dan kritikan dari berbagai elemen masyarakat. Sebab, materi muatannya masih dianggap banyak kalangan mengekang kebebasan berpendapat dan berekpresi. Tapi tak sedikit pula yang mendukung keberadaan KUHP Nasional itu.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly berpandangan RKUHP disusun dengan kodifikasi nasional yang ditujukan menggantikan produk hukum kolonial Belanda. Sebab, Wetboek van Strafrecht sendiri sudah lama diperbaharui oleh Belanda. Terdapat tiga pidana yang diatur yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus. Dalam pidana pokok, RKUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial. Menurutnya, perbedaan mendasar dalam RKUHP tidak lagi menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan 10 tahun.
Kesepuluh, RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK). Tak membutuhkan waktu lama, DPR dan pemerintah melakukan pembahasan, RUU PPSK diambil keputusan di tingkat I dan dilanjutkan dalam paripurna untuk mendapat persetujuan menjadi UU pada Kamis (15/12/2022). Kendati mendapat persetujuan seluruh fraksi, tapi ada sejumlah catatan terutama dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Beleid yang penyusunan dan pembentukannya menggunakan pendekatan omnibus law itu memuat 27 Bab dan 341 Pasal. Secara umum, UU PPSK memuat lima ruang lingkup yakni ruang lingkup kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan; ruang lingkup pengembangan dan penguatan industri sektor keuangan; ruang lingkup literasi keuangan, inklusi keuangan, dan perlindungan konsumen; ruang lingkup akses pembiayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM); dan ruang lingkup reformasi penegakan hukum sektor keuangan.
Kesebelas, RUU Ekstradisi Buron dengan Pemerintah Singapura. Tak butuh waktu lama, RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Singapura tentang Ekstradisi Buronan mendapat persetujuan dalam rapat paripurna di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (15/12/2022). Sembilan fraksi partai secara bulat memberikan persetujuan tanpaperdebatan. RUU tersebut menjadi respon terhadap kebutuhan kerja sama internasional di bidang hukum secara lebih komprehensif dengan Singapura. Selain itu, UU tersebut berguna dalam mempererat hubungan bilaterall kedua negara yang bersifat saling menghormati dan menguntungkan.
Perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Singapura tentang ekstradisi buronan tak lepas dari posisi negara tetangga itu yang berbatasan langsung dengan nusantara. Apalagi intensitas pergerakan warga kedua negara cukup tinggi, serta didorong kebijakan Indonesia yang memasukkan Singapura ke dalam daftar negara bebas visa. Dampaknya, Singapura acapkali menjadi tujuan akhir atau transit pelaku kejahatan. Dengan adanya kerja sama ekstradisi dengan Singapura ini bakal memudahkan aparat penegak hukum menyelesaikan perkara pidana yang pelakunya berada di Singapura.
Sebelumnya, kedua negara telah meneken perjanjian kerja sama tentang ekstradisi buronan di Pulau Bintan, 25 Januari 2022 lalu. Perjanjian tersebut mengatur antara lain kesepakatan para pihak dalam melakukan ekstradisi, tindak pidana yang dapat disektradisikan, dasar ekstradisi, pengecualian wajib terhadap ekstradisi. Kemudian mengatur pengecualian sukarela terhadap ekstradisi, permintaan dan dokumen pendukung serta pengaturan penyerahan.