PIJAR-JAKARTA – Pemerintah resmi menyodorkan UU No.3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) agar dilakukan revisi dengan memasukkan dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Priroitas 2023. Kecurigaan banyak kalangan terhadap upaya merevisi UU 3/2022 dilatarbelakangi proses penyusunan yang terburu-buru dan tidak matang dalam membuat rancangan besar terhadap IKN termasuk menunjukkan ketidakmatangan pemerintah dalam mengelola Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Anggota Komisi V DPR Suryadi Jaya Purnama berpandangan revisi UU 3/2022 menunjukan pemerintah sejak awal pembentukan aturan sebagai payung hukum pemindahan ibu kota negara tak matang dalam perencanaan. Selain menuai kontra, kekeuhnya keinginan Presiden Joko Widodo memindahkan ibu kota negara tidak diimbangi dengan kemampuan APBN dan ekonomi yang relatif belum stabil.
Menurutnya, tujuan pemerintah merevisi UU 3/2022 agar dapat menggunakan APBN dalam mendanai pemindahan dan pembangunan IKN. Masalahnya, rencana induk IKN tak pernah dibahas secara detil panitia khusus (Pansus) RUU IKN kala itu. Tapi, malah UU 3/2022 diundangkan menjadi lampiran yang tak terpisahkan dari UU tersebut.
“Apa yang dijanjikan oleh Presiden Joko Widodo bahwa penggunaan APBN hanya 20 persen dari biaya pembangunan IKN sebesar Rp 466 triliun tak ada satupun tercantum di dalamnya,” ujarnya melalui keterangan tertulis akhir pekan lalu.
Dia menilai tak jelasnya aturan tentang batasan APBN dalam mendanai IKN, revisi UU 3/2022 berpotensi membuat pengelolaan APBN untuk keperluan pembangunan ibu kota negara baru bakal kian ugal-ugalan demi memuluskan rencana tersebut. Bahkan mungkin, kian besarnya porsi APBN perlu dijaga agar tak sampai batas defisit anggaran melebihi tiga persen pada APBN periode anggaran 2023.
Apalagi dengan adanya tantangan resesi ekonomi global yang terjadi dan kenaikan inflasi di sejumlah negara pada 2023 mendatang, maka perlu menjaga APBN hanya bagi belanja prioritas yang bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat luas. Menurutnya, janji pemerintah tak akan menggunakan APBN dalam jumlah besar dengan cara mengundang investor asing bagi pembanguunan IKN hanyalah pepesan kosong belakang.
Sebab, media asing seperti Bloomberg dan Strait Times awal Desember lalu menurunkan laporan berjudul ‘Ambitious Plans to Build Indonesia a Brand New Capital City Are Falling Apart’. Menurutnya, laporan tersebut menggambarkan lebih dari 3 tahun pasca rencana pemindahan dan pembangunan IKN diluncurkan, tak ada satu pun pihak asing yang menandatangani kontrak mengikat untuk mendanai proyek tersebut.
Untuk itu, Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu menolak keras rencana merevisi UU 3/2022 masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023. Apalagi revisi UU 3/2022 hanya ditujukan untuk memuluskan penggunaan APBN mendanai IKN. Menurutnya, sedari awal disahkannya RUU IKN menjadi UU 3/2022 pemerintah tak transparan dengan melakukan rapat bersama DPR soal rencana pendanaan IKN dengan skema APBN maupun investor mana saja yang telah mengikat kontrak mendanai proyek pembangunan IKN.
Sementara Anggota Komisi V Irwan Fecho berpendapat upaya pemerintah merevisi UU 3/2020 menjadi cara menutupi kesalahan dalam aspek perencanaan dan pembiayaan pemindahan dan pembangunan IKN yang serampangan. Dia menyesalkan langkah pemerintah tersebut yang merevisi UU 3/2020. Sebab, pembiayaan IKN melalui APBN sudah berjalan sejak 2022. Sementara 2023 bakal menyediakan payung hukumnya dalam mendanai pembangunan IKN.
“Pemerintah memaksakan penggunaan APBN terburu-terburu tanpa ada batasan yang jelas dan tegas berapa yang akan digunakan,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrat itu itu menegaskan, pernyataan Menkumham Yasonna Hamonangan Laoly mengakui revisi UU 3/2022 agar pemerintah dapat menggunakan APBN dalam mendanai pembangunan IKN menunjukan pemerintah tak yakin bakal didukung investor swasta termasuk asing. Lain ceritanya janji Presiden Jokowi yang hendak menggunakan APBN sebesar 20 persen dari total dana pembangunan IKN sebesar Rp468 triliun.
Malahan pemerintah berjanji bakal menggunakan 80 persen pembiayaan IKN melalui skema kerja sama antara Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, maupun BUMN dan BUMD. Bahkan Kementerian Investasi mencatat Uni Emirat Arab relah merealisasikan investassinya senilai AS$20 miliar. Tapi, saat kunjungan ke Uni Emirat Arab, pihak Dubai Islamic Bank, Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dan Abu Dhabi Developmental Holding Company (ADQ) belum memiliki rencana partisipasi investasi dalam pembangunan IKN.
“Mereka justru mempertanyakan pemerintah mau bikin apa, peta jalan investasinya apa? Mereka belum melihat sesuatu dari IKN ini. Sehingga janji hanya 20% APBN untuk IKN ini patut diawasi mengingat APBN juga masih dibutuhkan untuk pembangunan yang merata di seluruh tanah air Indonesia,” katanya.
Sebelumnya, Terpisah, Dosen Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Charles Simabura berpandangan era pemerintahan Joko Widodo termasuk era buruk dari aspek perencanaan peraturan perundang-undangan. “Mereka semaunya saja dengan dasar kesepakatan mengubah Prolegnas di tengah jalan,” kata Charles.
Dia menilai sudah lazim perilaku DPR dan pemerintah lain yang direncakanan, lain pula yang dibahas. Kata lain, DPR dan pemerintah kerap membahas RUU di luar dari daftar Prolegnas. Khususnya, UU 3/2022 yang baru diberlakukan, malah hendak kembali direvisi. Charles maklum kualitas UU 3/2022 yang proses penyusunan dan pembahasan dilakukan ‘kejar tayang’.
“Yang penting ada dulu, perkara gak sempurna kan bisa diperbaiki melalui revisi atau peraturan pelaksana, hal ini tabiat buruk yang sengaja dilakukan karena untuk mengejar target-target dari sebuah UU meskipun ditolak publik,” ujarnya.
Menurut Peneliti Senior Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) itu, usulan revisi UU 3/2022 menunjukkan tahapan perencanan dalam tata kelola legislasi di pemerintah amburadul. Bahkan tak hanya tahap perencanaan, tapi pembahasannya pun serampangan tanpa bahasan mendalam. Bahkan menyerap aspirasi masyarakat secara bermakna tidak optimal. Makanya menjadi pertanyaan soal kualitas naskah akademik dari UU 3/2022 ini.
“Ini membuktikan dugaan kita memang UU IKN bermasalah baik secara hukum, faktual, maupun akademik,” simpulnya.