PIJAR-JAKARTA || Beragam kritikan masyarakat terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tak membuat pemerintah bergeming. Pemerintah terus bergerak memberi penjelasan sebagai bagian sosialisasi KUHP kepada masyarakat baik dari proses pembentukan maupun materi muatan atau substansi KUHP baru.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan kritik masyarakat terhadap KUHP sebagai produk legislasi menjadi hal lumrah di negara demokrasi. Semua kritikan masyarakat perlu direspon. Pertama, kritikan dari aspek proses pembentukan KUHP dinilai terburu-buru dan tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna.
“Tanggapan saya, itu hoax,” ujar Wamenkumham dalam sebuah diskusi bertajuk “Merespon Kritik Pengesahan KUHP” di Komplek Gedung Parlemen, Rabu (14/12/2022).
Dia menerangkan proses penyusunan hingga persetujuan RKUHP menjadi KUHP Nasional berlangsung selama 59 tahun. Pertama kali seminar yang mendorong penyusunan RKUHP sudah digaungkan pada 1963 di Yogyakarta oleh sejumlah pakar hukum pidana kala itu. Kemudian, draf RKUHP masuk ke DPR di era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan mulai dibahas ulang pada 2015. Ia mengklaim pembahasan setiap rumusan pasal dilakukan penuh kecermatan dan kehati-hatian.
Kemudian soal partisipasi publik, di masa pembahasan 4 bulan terakhir, angota dewan di Komisi III kerap mengingatkan agar draf yang disampaikan ke DPR berdasarkan masukan dari publik. Draf RKUHP mulai dimasukkan ke DPR pada 6 Juli 2022, terdapat 7 perubahan dari draf terakhir pembahasan pada 2019 yakni 14 isu krusial, sistematisasi, pasal mengenai penadahan dan kejahatan percetakan, harmonisasi dan singkronisasi dengan sejumlah UU, standardisasi pemidanaan, memperbaiki typo. Tapi masyarakat tetap bereaksi atas draf RKUHP per 6 Juli.
Lalu, Presiden Joko Widodo merespon dengan meminta tim perumus RKUHP menggelar dialog publik. Pada Agustus – November 2022, tim perumus aktif melakukan sosialisasi dan dialog publik ke sejumlah kota besar di Indonesia. Dialog publik digelar bersama dengan elemen masyarakat, organisasi profesi, ormas, mahasiswa, hingga tokoh masyarakat dan agama. “Kami sosialisasi ke berbagai kota di 34 provinsi yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Pasca dialog publik, pemerintah memasukkan draf RKUHP pada 9 November 2022. Menurutnya, terjadi perubahan jumlah pasal maupun beberapa substansi. Menurutnya, dari 14 isu krusial menjadi 69 item perubahan berdasarkan masukan dari publik. Karenanya, anggota dewan kerap menggingatkan agar memasukkan dua naskah RKUHP versi terbaru dengan sebelumnya, termasuk matrik dan keterangan masukan dari masyarakat.
“Makanya jelas, kalau kita tidak melibatkan publik, maka itu hoax dan tidak paham proses,” ujarnya.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (FH UGM) itu melanjutkan sumber Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) berasal dari masyarakat yang notabene sama halnya yang memberikan masukan ke pemerintah, sehingga menjadi satu frekuensi. Karenanya ketika rapat pembahasan RKUHP terakhir, pemerintah menegaskan 99 persen masukan DPR dapat diterima pemerintah.
“Jadi jangan lihat proses formal di DPR, tapi kami membahas informal dan melibatkan koalisi masyarakat sipil. Silakan tanya ICJR, LeIP, IJRS, membantu pemerintah dan DPR!”
Kedua, dari aspek substansi. Eddy, begitu biasa disapa mengaku tak risau dengan kritikan dari PBB maupun warga asing. Sebab, yang diprotes merupakan tindak pidana kesusilaan. Menurutnya, dalam setiap negara memiliki perbedaan dalam delik politik, kesusilaan dan pidana mati. Dalam kejahatan kesusilaan, yang menjadi sorotan delik perzinahan dan kohabitasi.
“Jangan dibanding-bandingkan, masing-masing negara memang berbeda,” dalihnya.
Baginya, setiap negara memiliki pandangan terhadap delik kesusilaan. Hanya saja, terdapat penilaian sebagian masyarakat seolah mendukung pandangan Amerika, Prancis, dan Australia soal kohabitasi. Pandangan tersebut menandakan masih bermental inlander (penjajah) lantaran terlampau lama hidup menggunakan KUHP warisan colonial Belanda.
Eddy ingat betul saat merumuskan pasal kohabitasi. Semula Fraksi Nasdem, Golkar, dan PDIP meminta pasal kohabitasi ditarik dari RKUHP dengan sejumlah alasan. Pemerintah pun dapat memahami alasan tiga fraksi partai tersebut. Tapi, bila menghapus pasal kohabitasi, fraksi partai berlatarbelakang Islam bakal menolak. Makanya pemerintah mencari jalan tengah dengan tetap mengatur pasal kohabitasi, namun memberi penjelasan. Dengan berlakunya pasal kohabitasi, maka semua aturan di bawah UU tidak berlaku.
Menurutnya, bila melihat secara jernih, pasal yang mengatur kohabitasi memiliki value dan memberikan perlindungan dari tindakan kesewenang-wenangan satuan polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) di daerah yang melakukan sweaping. Sebab, dengan hukum acaranya, penggrebekan tidak dapat dilakukan, karena pasal ini merupakan delik aduan absolut.
“Jadi ini saya kira win-win solution Indonesia way mengakomodir berbagai kepentingan,” kata dia.
Ada pula yang mengilustrasikan keberadaan pasal kohabitasi bakal menyulitkan investor masuk. Baginya pandangan ini terlampau berlebihan. Bila turis membawa pasangannya yang tidak terikat perkawinan tak serta merta dapat diproses hukum di Indonesia. Sebab, yang berhak mengadu adalah orang tua dan anak yang tidak terikat perkawinan. “Emangnya orang tua dan anaknya mau mengadu ke Indonesia. Kurang kerjaan,” ujarnya.
Tak ada kepentingan politik
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani melanjutkan membuat KUHP di negara yang multi etnis dan agama serta wilayah yang sedemikian luas bukan pekerjaan mudah. Apalagi membentuk UU yang sudut pandangnya memiliki keberagaman. Karenanya bagi DPR, kata Arsul, KUHP bukanlah UU yang bermuatan politik. “Tidak ada kepentingan politik, hal tertentu ada kepentingan ideologis,” ujarnya.
Dia menunjuk soal pasal nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat atau living law. Menurutnya banyak pakar hukum yang mengkritisi pengaturan living law dengan perdebatan konsepsi. Namun bagi DPR, kalaupun dihapus pun tak ada persoalan. Tapi, adanya pengaturan living law cenderung pada penghargaan negara.
Begitupula dengan pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Menurutnya pasal tersebut hendak dihapus pun tak menjadi persoalan bagi DPR. Masyarakat sipil meminta pasal tersebut dihapus agar tak ada ancaman ketika mengkritik kepala negara. Namun para ahli hukum pidana mengingatkan adanya pasal lain bila presiden negara lain berkunjung ke Indonesia dan dihina atau diserang harkat martabatnya dapat dipidana. “Masa presiden sendiri, tidak?”