PIJAR|JAKARTA – Berbagai organisasi profesi kesehatan mulai dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) beserta anggota, Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI),dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) menggelar aksi damai di area gerbang gedung DPR menolak RUU Omnibus Law Kesehatan. Penolakan ini karena RUU ini dianggap merugikan masyarakat, tidak transparan dan partisipatif.
Anggota DPD RI Fahira Idris mengungkapkan, jika sebuah RUU ditolak oleh salah satu pemangku kepentingan utama yaitu berbagai organisasi profesi kesehatan, menandakan terdapat persoalan substansi. Persoalan substansi biasanya terkait kandungan RUU mulai dari naskah akademik dan pasal-pasalnya serta persoalan transparansi dan ruang partisipasi publik dalam proses penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan.
Oleh karena itu, DPR dan Pemerintah diminta merespon dengan bijak penolakan ini dengan mengedepankan partisipasi bermakna dalam penyusunan RUU Omnibus Law Kesehatan.
Menurut Fahira, dengan adanya penolakan ini, partisipasi masyarakat terutama berbagai organisasi profesi kesehatan yang bermakna terhadap RUU Omnibus Law Kesehatan mendesak dibuka seluas-luasnya. Baik saat pengajuan RUU, saat pembahasan bersama antara DPR dan Presiden/Pemerintah, dan saat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden/Pemerintah.
“Ruang partisipasi publik disebut bermakna jika dapat dipastikan hak publik untuk didengarkan dan dipertimbangkan pendapatnya untuk dipenuhi. Selain itu, partisipasi yang bermakna juga harus memastikan terpenuhinya hak publik untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan terhadap berbagai hal yang meragukan atau dianggap merugikan publik dalam RUU Omnibus Law Kesehatan ini,” pungkas Fahira Idris di Jakarta (28/11/2022).
Berbagai upaya untuk mendukung perbaikan sistem kesehatan yang terdapat dalam RUU Omnibus Law Kesehatan misalnya dalam hal pemerataan dokter spesialis untuk daerah-daerah patut didukung. Oleh karena begitu pentingnya RUU ini untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa, maka dalam prosesnya harus memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna.
“Jangan sampai nasibnya RUU ini setelah disahkan nanti dihujani gugatan ke MK seperti Omnibus Law Cipta Kerja. Jangan sampai setelah disahkan, dinyatakan cacat formil karena dalam proses pembentukannya tidak melibatkan partisipasi publik yang maksimal atau bermakna sebagai salah satu syarat pembentukan undang-undang yang baik. Mumpung masih dalam proses pembahasan, buka partisipasi publik seluas-luasnya RUU Omnibus Law Kesehatan,” pungkas Senator Jakarta ini.
Sebagai informasi, RUU Kesehatan merupakan perubahan dari UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Bedanya, RUU Kesehatan ini penyusunannya menggunakan metode omnibus law.
Sejumlah undang-undang disebut akan masuk ke dalam revisi UU Kesehatan yang menggunakan mekanisme omnibus. Beberapa di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Selain itu, ada pula Undang-Undang 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Serta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tentang Farmasi dan Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. [ary]