PIJAR-JAKARTA | Reformasi Sistem Hukum Pidana dalam kerangka legislasi menyentuh pada tiga aspek yang saling bertautan. Pertama, aspek hukum pidana materil yang tercermin di antaranya pada RUU tentang Hukum Pidana dan RUU tentang Revisi Atas UU Narkotika. Kedua, aspek hukum pidana formil yang tercermin melalui RUU tentang Hukum Acara Pidana. Ketiga, aspek kelembagaan pelaksana hukum pidana sebagaimana UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, dan sebagainya.
Paradigma yang mewarnai ketiga aspek di atas adalah keadilan restoratif, sebagai sebuah pendekatan dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang berorientasi pada pemulihan keadaan semula, ketimbang pembalasan atas tindak pidana yang telah terjadi. Pendekatan yang semula secara eksplisit termuat pada Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), saat ini keadilan restoratif mulai didorong untuk digunakan juga dalam sistem peradilan pidana pada orang dewasa.
Hal ini terlihat dari inisiatif yang dilakukan lembaga-lembaga penegak hukum yang mulai mengembangkan dan melaksanakan kebijakan internal terkait keadilan restoratif sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya masing-masing. Inisiatif penerapan keadilan restoratif ini patut diberikan apresiasi, meskipun dalam penerapannya masih banyak catatan kritis yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan.
Pertanyaan besar yang muncul dari fenomena ini adalah bagaimana seharusnya keadilan restoratif ditempatkan dan diatur dalam kerangka legislasi sistem hukum pidana di Indonesia?
Keadilan Restoratif dalam RUHP
Rancangan Undang-undang Hukum Pidana (RUHP) yang diserahkan pemerintah kepada DPR pada 6 Juli 2022 yang lalu, tidak secara eksplisit mengatur keadilan restoratif. Tetapi sejumlah ketentuan dalam RUHP mencerminkan semangat atau paradigma keadilan restoratif. Semangat dimaksud tercermin pada salah satu tujuan pemidanaan, yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat Tindak Pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat (Pasal 51 huruf c).
Selain itu beberapa pasal dalam RUHP juga memuat ketentuan yang sejalan dengan prinsip dan nilai keadilan restoratif, di antaranya:
- Sebagai salah satu jenis pidana pokok, pidana kerja sosial dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 5 (lima) tahun dan hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Pasal 85 Ayat (1));
- Pidana tambahan berupa pembayaran ganti rugi dan/atau pemenuhan kewajiban adat setempat dapat dikenakan dalam hal penjatuhan pidana pokok saja tidak cukup untuk mencapai tujuan pemidanaan (Pasal 66);
- Pidana penjara sedapat mungkin tidak dijatuhkan jika ditemukan keadaan misalnya terdakwa adalah Anak, dan terdakwa telah membayar ganti rugi kepada Korban (Pasal 70); dan
- Penjatuhan hukuman berupa tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa:
- konseling;
- rehabilitasi bagi terdakwa yang kecanduan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual;
- pelatihan kerja;
- perawatan di lembaga; dan/atau
- perbaikan akibat Tindak Pidana. (Pasal 103 Ayat 1)
Rancangan Undang-undang Hukum Pidana juga mengatur Diversi, Tindakan, dan Pidana bagi Anak yang pada intinya menegaskan kembali keharusan penerapan pendekatan keadilan restoratif pada SPPA oleh para aparat penegak hukum. Berdasarkan uraian singkat di atas, dapat terlihat adanya pergeseran paradigma yang coba didorong oleh RUHP, dari pemidanaan yang retributif semata menjadi pemidanaan yang juga berorientasi pada pemulihan.
Keadilan Restoratif dalam RUHAP
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa masing-masing lembaga penegak hukum mulai berinisiatif mengembangkan kebijakan internal terkait keadilan restoratif di luar perkara anak atau ditujukan kepada perkara orang dewasa. Namun, upaya tersebut dijalankan sektoral dengan pemahaman dan penafsiran terhadap keadilan restoratif yang berbeda-beda. Hal ini berpotensi memunculkan ketidakpastian hukum bagi perkara tindak pidana yang diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif.
Belum adanya payung hukum keadilan restoratif setingkat undang-undang (di luar perkara Anak yang sudah diatur dalam UU SPPA), menjadi faktor kunci yang menyebabkan ketidakselarasan penerapan keadilan restoratif oleh setiap institusi. Untuk itu, diperlukan ketentuan yang mengatur pelaksanaan keadilan restoratif dalam kerangka sistem peradilan pidana, dalam hal ini menjadi bagian dari UU Hukum Acara Pidana. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mendorong penerapan keadilan restoratif pada pembaruan hukum acara pidana?
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Rancangan Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUHAP) masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) long list 2020-2024 sebagai usulan inisiatif dari DPR. Sebelumnya RUHAP merupakan inisiatif dari pemerintah yang sudah menyiapkan draft pada tahun 2012. Berdasarkan analisis terhadap draft RUHAP tahun 2012 tersebut, belum terlihat pengaturan terkait pendekatan keadilan restoratif yang memadai di dalamnya. Meskipun draft ini muncul di tahun yang sama dengan disahkannya UU tentang SPPA yang memiliki paradigma keadilan restoratif.
Draft RUHAP yang disusun oleh DPR tentunya harus memuat ketentuan terkait mekanisme pelaksanaan keadilan restoratif. Penerapan keadilan restoratif berdasarkan UU SPPA merupakan pembelajaran penting dalam mempersiapkan draft RUHAP ke depan. Kajian akademis seperti yang telah dilakukan oleh ‘konsorsium restorative justice’ menjadi bahan penting dalam menyempurnakan dan memperkuat Naskah Akademis RUHAP yang telah disusun sebelumnya oleh BPHN. Pengaturan terkait mekanisme keadilan restoratif dalam Hukum Acara Pidana ke depan, menjadi sebuah keharusan.
Penutup
Bahwa pendekatan keadilan restoratif harus ditempatkan sebagai hal yang mendasar dalam pembaruan sistem hukum pidana di Indonesia. Keadilan restoratif harus termuat dalam hukum pidana materil dan formil yang saat ini sedang dan akan dibahas dalam proses legislasi. Sampai dengan saat ini pun, Komisi III DPR masih terus menerima masukan dari seluruh pemangku kepentingan baik terhadap draft RUHP maupun RUHAP.
Komisi III DPR juga telah meminta sejumlah kalangan praktisi dan elemen masyarakat sipil, untuk menelaah kembali RUHAP yang pernah disusun oleh pemerintah. Dengan harapan, RUHAP yang akan disusun oleh DPR ke depan dapat mengakomodasi kebutuhan hukum masyarakat khususnya keadilan restoratif.
Selain dari sisi legislasi, kesiapan penegak hukum untuk menerapkan pendekatan keadilan restoratif juga patut menjadi perhatian. Keadilan restoratif seyogianya diartikan sebagai penghentian perkara atau perdamaian semata. Bahwa esensi dari pendekatan ini adalah pemulihan korban, adanya kesukarelaan dari para pihak, dan pelibatan masyarakat di dalamnya. Jangan sampai pendekatan ini malah menjadi celah bagi penegak hukum untuk memperdagangkan keadilan.