PIJAR-JAKARTA | Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengalami lonjakan yang cukup signifikan saat wabah Covid-19 melanda Indonesia. Namun dengan situasi pandemi Covid-19 yang membatasi kontak fisik, nyatanya persidangan tetap harus digelar dengan memanfaatkan teknologi digital atau yang sering disebut dengan sidang online.
Sekjen Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) Nien Rafles Siregar menyampaikan bahwa pada dasarnya seluruh rangkaian persidangan perkara PKPU harus dilakukan secara langsung di PN. Karena tuntutan situasi, maka PN sepakat menggunakan teknologi dalam upaya penyelesaian perkara PKPU dan kepailitan.
“Sekarang sudah mau menggunakan teknologi. Contoh rapat kreditur biasanya harus rapat fisik, tapi sekarang boleh online dan ini sangat membantu. Kita dari rumah, atau siang-siang di kantor masing-masing tetap bisa mengikui rapat kreditor, yang dulu tidak bisa terjadi. KUHP dan KUHPer itu instrument di dalamnya kaku dan syukurnya bisa dsambut dengan positif (sidang online),” kata Nien dalam webinar yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) dengan tema “Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangan Digital”, Jumat (14/10).
Nien menegaskan bahwa adaptasi penggunaan teknologi dalam persidangan PKPU sangat memudahkan berbagai pihak, terutama pengurus dan kurator. Setidaknya terdapat dua hal positif penyelenggaraan sidang online untuk perkara PKPU dan kepailitan.
Pertama, rapat kreditur dan voting lebih fleksibel karena bisa diselenggarakan secara online tanpa kehadiran fisik di persidangan. Hal ini membuat semua pihak terkait dapat mengikuti rapat kreditur dan voting di mana saja.
Kedua, memudahkan pengurus atau kurator dalam pencatatan tagihan. Nien menjelaskan bahwa saat ini pencatatan tagihan sudah menggunakan format yang memudahkan pengurus untuk mencatatkan tagihan dan aset. Pencatatan tagihan ini pun juga dilakukan secara online tanpa harus datang ke PN.
“Ini juga perkembangan yang terpaksa karena keadaan dan diteruskan. Kalau dulu pencatatan tagihan harus fisik yang datang, bawa dokumen sedemikian banyak, rapat verifikasi. Jadi kalau lihat pengurus bawa koper, jangan kaget karena isinya berkas tagihan semua. Sekarang mencatatkan tagihan bisa secara online. Misalnya ada perkara PKPU di PN Semarang, kita enggak perlu ke Semarang untuk catat tagihan. Padahal dulu, jangankan online, berkas dikirim pakai pos saja tidak bisa,” paparnya.
Selain itu, lanjut Nein, pemerintah saat ini tengah membangun website atau portal sebagai database kepailitan dan PKPU. Dengan database tersebut, data PKPU dan kepailitan akan mudah diakses oleh semua pihak. Pembangunan website ini dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM bekerja sama dengan Mahkamah Agung (MA).
“Sampai sekarang belum ada database PKPU dan kepailitan. Sekarang kalau mau cari data secara manual, siapa perusahaan yang pernah PKPU atau pailit. Bisa cari di koran atau data PN. Nanti akan satu website, jadi kita bisa tahu di dalamnya siapa yang PKPU, pailit dan sebagainya,” jelas Nien.
Di sisi lain, Ketua Umum BPS Hipmi Jakarta Kepulauan Seribu Rangga Derana Niode menilai bahwa PKPU adalah mekanisme yang baik bagi pengusaha untuk menyelesaikan persoalan utang piutang. Hanya saja dalam pelaksanaannya masih dikhawatirkan adanya moral hazard.
Jika tujuan utama PKPU adalah restrukturisasi, lanjutnya, namun tak sedikit pula kreditur yang memanfaatkan PKPU sebagai alat untuk menagih utang dan mengambil aset debitur, dan ini sangat berisiko. Rangga menilai adanya moral hazard disebabkan oleh syarat pengajuan PKPU yang diatur UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, terlalu luas dan tidak spesifik.
“Karena di PKPU dibutuhkan minimal 2 kreditur dan utang yang sudah jatuh tamapo, tapi tidak ada nilai threshold. Di Singapura proses PKPU ada threshold itu 135ribu USS, dan naik di covid menjadi 230ribu USS. Di Indonesia meskipun sudah ada klasifikasi kreditur tapi tidak ada nilai utang yang bisa mengajukan utang,” pungkasnya.