PIJAR-JAKARTA | Di tengah kritik dan perhatian yang ditujukan kepada insititusi kepolisian belakangan ini, publik kembali disuguhkan berita penangkapan dan penempatan khusus kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sumatera Barat, Inspektur Jenderal Teddy Putra Minahasa. Berdasarkan informasi awal, Teddy diduga terlibat dalam perdagangan barang bukti narkoba seberat 5 Kg dari Sumatera Barat.
Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo menyebutkan pihaknya telah menemukan dugaan keterlibatan Teddy dalam menjual 5 Kg Sabu dengan melibatkan sejumlah oknum kepolisian. Untuk itu Listyo memerintahkan Kadiv Propam Polri, untuk menangkap langsung Teddy. “Kemarin saya minta Kadiv Propam untuk menjemput dan melakukan pemeriksaan terhadap Irjen TM,” ujar Listyo, Jumat (14/10) di Mabes Polri, Jakarta.
Atas kasus ini, Kapolri Listyo Sigit Prabowo langsung meminta Kadiv Propam Polri Syahar Diantono untuk melakukan pemeriksaan etik terhadap Teddy untuk menyimpulkan ada tidaknya pelanggaran etik yang telah dilakukan oleh pria yang sebelumnya sempat akan dipindahkan menjadi Kapolda Jawa Timur tersebut. Teddy sendiri diancam hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) dari institusi Polri serta dilanjutkan dengan proses pidana setelah itu.
Perkara perdagangan barang bukti tindak pidana penyalahgunaan narkoba seberat 5 Kg yang menimpa Teddy ini tentu saja menghadirkan pertanyaan tentang bagaimana tata Kelola barang bukti hasil tindak pidana seharusnya dilakukan? Untuk diketahui, Pasal 44 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengatur mengenai hal ini. Ayat (1) berbunyi: Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara”.
Kemudian ayat (2) nya mengatur penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengna sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengna tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda terebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun.
Pada bagian penjelasan Pasal 44 ayat (1) disebutkan bahwa selama belum ada rumah penyimpanan benda siataan negara di tempat yang bersangkutan, penyimpanan benda sitaan tersebut dapat dilakukan di kantor kepolisian, di kantor kejaksaan negeri, di kantor pengadilan negeri, di gendung Bank pemerintah, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain atau tetap di tempat semula bend aitu disita.
Dalam konteks kasus yang perdagangan barang bukti narkoba oleh oknum kepolisian sebagaimana yang diduga dilakukan oleh Irjen Teddy Minahasa dan sejumlah oknum kepolisian di daerah Sumatera Barat, telah ada Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pengelolaan Barang Bukti
Pasal 9 Perkapolri Nomor 8 Tahun 2014 mengatur bahwa pengelolaan barang bukti dilaksanakan oleh Pengemban Fungsi Pengelolaan Barang Bukti. Pada setiap tingkatan di satuan kepolisian pelaksanaan ini dibagi menjadi beberapa bagian. Advokat Laksono Daniel Christian Hutagalung dalam artikel Hukumnya Polisi Merusak Barnag Bukti menjelaskan kegiatan pengelolaan barang bukti dilakukan dengan pengawasan baik secara umum maupun khusus.
Apabila terdapat kejadian yang bersifat khusus, maka dapat dibentuk tim pengawasan berdasarkan surat perintah. Pasal 26 ayat (3) Perkapolri Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan, maksud dari kejadian yang bersifat khusus tersebut antara lain: a. adanya laporan atau ditemukannya penyimpangan; b. penyalahgunaan barang bukti; c. hilangnya barang bukti; dan d. adanya bencana yang bisa mengakibatkan barang bukti hilang atau rusak.
Pengawan Penyidik
Pasal 36 ayat (3) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana menyebutkan terdapat pengawasan dan pengendalian terhadap penyidik. Hal ini sebagai langkah lanjutan dari pengawasan terhadap pengelolaan barang bukti. Pengawasan terhadap penyidik dilaksanakan oleh atasan penyidik dan pejabat pengemban fungsi pengawasan penyidikan.
Menurut Pasal 39 Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019, sasaran pengawasan dan pengendalian penyelidikan dan penyidikan meliputi: a. penyelidik dan penyidik/penyidik pembantu; b. kegiatan penyelidikan dan penyidikan; dan c. administrasi penyidikan.
Selain pengawasan rutin, juga terdapat pengawasan insidentil yang dilakukan oleh pengemban fungsi pengawasan penyidikan berdasarkan surat perintah atas penyidik yang berwenang apabila adanya dugaan pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan penyidik dan/atau penyidik pembantu dalam menangani perkara berdasarkan pengaduan masyarakat; serta penyelidikan dan/atau penyidikan menjadi perhatian publik.
Pasal 42 ayat (1) Perkapolri Nomor 6 Tahun 2019 menyebutkan bahwa apabila ditemukan pelanggaran dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dan/atau penyidik pembantu, dilakukan: a pembinaan, apabila melakukan pelanggaran prosedur; b. proses penyidikan, apabila ditemukan dugaan pelanggaran tindak pidana; atau c. pemeriksaan pendahuluan, apabila ditemkan dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin. Terkait norma ini, bisa menjadi dasar hukum penindakan terhadap Irjen Teddy Minahasa seperti kasus di atas.