PIJAR|JAKARTA – Anggota Dewan Pers A Sapto Anggoro mengingatkan semua pihak, terutama insan pers, tentang pentingnya fungsi kontrol sosial. Menurut dia, Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers pada pasal 3 ayat 1 menjelaskan, bahwa pers nasional berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
“Mohon perhatian semuanya. Kita tekankan tentang fungsi kontrol sosial. Ini mengikat wartawan, perusahaan pers, dan juga semua pihak, baik pemerintah, keamanan, penegak hukum, dan bahkan masyarakat umum,” kata Sapto di depan peserta diskusi Sosialisasi Indeks Kemerdekaan Publik (IKP) 2022 Provinsi Sumatra Utara di Hotel Cambridge, Medan, Senin (10/10/2022).
Sapto menjelaskan, jika ada wartawan melakukan investigasi dan mengorek informasi dari narasumber, itu adalah bagian dari usaha pers dan wartawan menjalankan amanat undang-undang. Karena itu, Sapto berharap tidak terjadi kesalahpahaman semua pihak karena kerja-kerja jurnalistik.
Jika tidak puas atas informasi wartawan, jelas Sapto, di Kode Etik Jurnalistik (KEJ) diatur tentang klarifikasi dan pemberitaan berimbang (cover both side). “Bapak-ibu kalau merasa dirugikan bisa minta penjelasan wartawan atau media untuk minta hak jawab, bahkan bisa mengadukan ke Dewan Pers untuk dimediasi,” jelasnya.
Dialog publik tersebut selanjutnya dibahas bersama pemateri Anggota Dewan Pers, Dr Ninik Rahayu, Kepala Prodi Komunikasi Universitas Sumatra Utara, Prof Iskandar Zulkarnain, dan Daniel Pakueli dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Sumut. Tampak hadir pula wakil dari Polda Sumut, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumut, jajaran kehakiman Sumut, perwakilan dari masyarakat, dan organisasi pers, yakni PWI, AJI, AMSI, IJTI, SMSI, PFI, dan JMSI.
Dalam laporan IKP nasional 2022 yang dikeluarkan Dewan Pers, Provinsi Sumut mendapatkan nilai 75,92, naik dibanding tahun 2021 dengan nilai 75,22. DI peringkat nasional, Sumut menduduki posisi 28 di antara 34 provinsi, sedang tahun sebelumnya posisi 26, artinya turun dua tingkat.
Ninik Rahayu yang memimpin komisi pendataan, dalam paparannya menegaskan, bahwa kerja jurnalis harus bebas dari kekerasan. Hal ini karena wartawan harus berpikir independen dalam menjalankan tugasnya. Ia mengingatkan, dalam pasal 15 ayat (2) UU Pers, bahwa Dewan Pers mengemban dan melaksanakan tujuh fungsi pokok, salah satunya melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain
Sementara itu Iskandar Zulkarnain selaku penanggap dari USU mengatakan, bahwa ada data yang dinilai kurang sesuai, misalnya disebut sebagai wartawan dan ternyata setelah diselidiki, justru bukan wartawan. Menurut dia, kasus seperti ini tidak masuk ranah kebebasan pers.
Iskandar mengutip ahli pers, AJ Liebling, dengan teori trikotomi, yakni pers yang sehat mengikuti prinsip tiga belahan: belahan ideal membela kebenaran, belahan kedua adalah SDM, dan belahan ekonomi. “Ketiga belahan ini harus seimbang. Pembesaran dan pengecilan pada satu bagian akan berpengaruh pada belahan lainnya,” ujarnya. Liebling adalah ahli pers dari New Yorker yang menulis “Freedom of the press belongs to those who own one” yang ditulis 1960.
Sedangkan narasumber dari AJI Medan, Daniel Pekuwali, menyampaikan makalah berjudul “Hantu Kebebasan Pers”, yang disebutnya sebagai kritik terhadap kebebasan pers di Sumut. Dia mengutarakan, bahwa aparat keamanan — polisi dan tentara– adalah faktor eksternal yang menjadi indikator mempengaruhi kebebasan pers.
Indikator yang tak bisa dipungkiri adalah soal kesejahteraan. Banyak media tidak memberikan gaji yang memadai sehingga mereka mencari uang di luar dengan cara-cara yang tidak terpuji. “Ini mencoreng wajah kita semua,” kata Daniel. [Dewanpers/ary]