PIJAR-JAKARTA – Komisi III DPR RI seolah “mendadak” menggelar pergantian salah satu hakim konstitusi yaitu Prof Aswanto. Pengganti barunya ditetapkan Guntur Hamzah yang selama ini menjabat Sekretaris Jenderal (Sekjen) MK dalam rapat di ruang Komisi III DPR, Selasa (29/9/2022) lalu. Dari 9 fraksi, hanya 5 diantaranya yang menyetujui pencalonan Guntur menjadi hakim konstitusi usulan DPR menggantikan Aswanto.
Atas pergantian Hakim Konstitusi Aswanto, sejumlah pihak melayangkan pendapat tidak setuju. Sebab, alasan pergantian tidak didasari Pasal 23 ayat (1), (2) UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang menjabarkan alasan pemberhentian dengan hormat dan tidak dengan hormat hakim konstitusi.
“Apa masih ada peluang untuk menggugat? Menurut saya, ketika surat DPR-nya sudah keluar pada Presiden itu saja sudah bisa dicoba. Bisa dicoba menjadi objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara,” ujar Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera yang juga merupakan salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Bivitri Susanti, dalam konferensi pers di STHI Jentera, Puri Imperium Office Plaza, Jakarta Selatan, Senin (3/10/2022).
Ia masih ingat bagaimana dahulu Surat Presiden (Surpres) yang dikirimkan ke DPR perihal UU Cipta Kerja kemudian dijadikan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Terlepas dari putusan akhirnya, Bivitri melihat hal tersebut mengindikasikan upaya perlawanan hukum masih dapat dilakukan terlebih dahulu. Sedangkan menang atau kalah dalam perkara ini menjadi urusan belakangan.
Upaya lain yang dapat dilakukan dari segi perdata menurutnya dapat dieksplorasi lebih lanjut. Dari segi etik, jika dilakukan penelusuran mengenai pernyataan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul yang ramai beredar diberbagai media, Bivitri memandang sudah dapat dibawa ke ranah etik (melalui Mahkamah Kehormatan Dewan). “Walaupun barangkali tidak mengubah keputusannya, tapi sering kita melakukan hal seperti itu untuk pendidikan publik dan untuk membuat mereka (DPR) merasa diawasi. Enggak semua orang mau aja nurut maunya mereka,” ungkapnya.
Dalam kesempatan ini, ia meminta presiden tidak perlu menggubris surat DPR mengenai pergantian Hakim Konstitusi Aswanto ini. Mengingat, Pasal 1 angka 17 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menggariskan dalam mengeluarkan keputusan dan/atau tindakan penyelenggaraan pemerintahan, maka harus menggunakan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) sebagai acuan penggunaan Wewenang bagi Pejabat Pemerintahan. Lebih lanjut Pasal 10 UU Administrasi Pemerintahan menyebutkan AUPB meliputi kepastian hukum; kemanfaatan; ketidakberpihakan; kecermatan; tidak menyalahgunakan kewenangan; keterbukaan; kepentingan umum; dan pelayanan yang baik.
Terdapat asas umum lain di luar AUPB yang tertuang dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (BHT). “Konsekuensinya karena UU Administrasi Pemerintahan, tidak ada sanksi pidana. Jadi itu koridor kapan suatu keputusan TUN dapat dikeluarkan dan kapan tidak boleh dikeluarkan. Yang jelas semua yang ditandatangani Presiden, tidak bisa tanda tangan saja. Justru itu tugasnya Menko, Mensesneg, dan staffnya untuk memberi saran. Kalau tidak sesuai dengan aturan main, maka tidak boleh ditandatangani Presiden,” ujar Bivitri.
Dalam kesempatan yang sama, Feri Amsari dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS), menyampaikan belum masanya Prof Aswanto untuk digantikan. Sekalipun hendak diberhentikan, seharusnya terdapat Keputusan Presiden (Keppres) tentang pemberhentian hakim konstitusi terlebih dahulu.
“Ini tinggal kesadaran orang-orang hukum di sekitar Presiden untuk menyampaikan taat atau tidak dengan AUPB (Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik). Landasan hukumnya sudah terang benderang, konstitusi tidak boleh mengintervensi atau mencampuri kekuasaan kehakiman. Ada dalilnya untuk menolak keputusan dari DPR, yang tidak ada dalilnya menindaklanjuti apa yang dilakukan DPR itu. Jadi, sesuatu yang tidak ada dalilnya tidak boleh dilakukan Presiden. Wong, negara bukan dalam keadaan darurat. Kesadaran ini perlu dikedepankan pejabat pada TUN dalam rangka mematuhi nilai-nilai konstitusi,” kata Feri.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, memandang pemikirannya terkait upaya yang bisa dilakukan dalam situasi saat ini. Idealnya, DPR bisa saja mengubah keputusan dengan menarik kembali hasil pergantian Hakim Konstitusi Aswanto. Dengan alasan proses yang dijalani Komisi III DPR sebelumnya adalah keliru dan perlu diperbaiki secara hukum. Akan tetapi, jika DPR memilih untuk tetap menjalankan pergantian Aswanto dan mengirimkan surat kepada Presiden, maka dapat pula jika Presiden membalas untuk tidak melakukan pergantian.
“Bisa juga pilihannya Presiden membalas surat DPR itu dengan mengatakan presiden tidak bisa melakukan pergantian. Karena putusan yang disampaikan DPR ini adalah proses dan mekanisme yang cacat secara hukum. Jadi presiden harus menyampaikan itu kepada DPR melalui Surat Presiden. Ruang itu terbuka selain mendiamkan surat, karena ini keputusan politik yang tidak sesuai (dengan hukum yang berlaku),” katanya.