PIJAR-JAKARTA – Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat mengatur status advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri serta dijamin hukum dan peraturan perundang-undangan. Tapi pada praktiknya ketentuan itu belum sesuai harapan. Advokat sekaligus pendiri Kantor Hukum SSA, Suhardi Somomoeljono, mengingatkan UU Advokat terbit dalam suasana reformasi, satu tahun setelah terbit UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK.
UU Advokat lahir dengan prakarsa rakyat yakni melalui 8 organisasi advokat. Suhardi menyebut UU Advokat lahir dengan dasar Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) yang telah disahkan oleh Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Segala ketentuan pada KEAI secara mutatis mutandis berlaku dan menjadi satu kesatuan dengan batang tubuh UU Advokat.
“UU Advokat ditujukan untuk memposisikan Organisasi Advokat (KKAI) yang telah lahir 1 tahun sebelum UU Advokat disahkan (2002) sebagai pilar penegak hukum ke-4, bersama dengan Mahkamah Agung (hakim), Kejaksaan Agung (Jaksa), dan Polri (polisi),” kata Suhardi dalam webinar bertema “Rekonstruksi Penegakan Hukum Di Indonesia (Gagasan Pembaharuan UU Advokat)”, Selasa (20/9/2022).
Menurut Suhardi, ada 4 pilar penegak hukum di Indonesia yakni polisi, jaksa, hakim, dan advokat. Semua penegak hukum itu posisinya setara. Tapi pada praktiknya ada lembaga penegak hukum yang merasa lebih tinggi dari lembaga penegak hukum lainnya. Status advokat sebagai penegak hukum belum berjalan sesuai harapan. Misalnya, advokat tidak boleh mendampingi saksi di KPK. Hal ini terjadi karena advokat belum memiliki peran di tingkat hulu dalam sistem penegakan hukum.
“Implementasi UU Advokat ini ‘setengah hati’,” ujarnya.
Suhardi menjelaskan criminal justice system (CJS) atau sistem peradilan pidana merupakan suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal justice system adalah rangkaian proses bekerjanya lembaga-lembaga penegak hukum sebagai suatu sistem yang berupaya menemukan suatu kebenaran materill sebagai upaya penegakan norma hukum pidana materill (law enforcement) atas suatu peristiwa hukum tindak pidana di masyarakat.
Dalam sistem peradilan pidana lembaga-lembaga tersebut terdiri dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, dan advokat. Oleh karena itu Suhardi menekankan semua penegak hukum posisinya harus sejajar, tapi pada praktiknya tidak. “Peran advokat seolah tidak masuk dalam criminal justice system,” tegasnya.
Dalam rangka ikut serta mengimbangi percepatan pembangunan dalam segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga legislatif khususnya pasca diundangkannya UU Cipta Kerja sebagai bentuk hukum progresif yang dianut kebijakan legislasi nasional, Suhardi mengusulkan UU Advokat tidak perlu diganti atau direvisi. Menurutnya, yang sekarang terjadi saat ini bukan kesalahan pada substansi UU Advokat, tapi tafsir atas pelaksanaan UU Advokat.
“Dalam mengatasi keadaan tersebut DPR RI melalui Komisi Hukum dapat menyelenggarakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan pihak-pihak terkait yang dipandang memiliki kepentingan bersama dalam melaksanakan criminal justice system,” harapnya.