PIJAR-JAKARTA – Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) adalah kejahatan luar biasa yang mencoreng kehidupan manusia. Tindak pidana ini sering terjadi pada perempuan dan anak-anak yang merupakan kelompok rentan dan praktiknya dilakukan dalam berbagai bentuk dan cara yang cukup marak terjadi di Indonesia.
Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU No. 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang menyatakan bahwa tindak perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, terdapat tiga unsur tindak pidana perdagangan orang, yatu adanya proses, cara, dan eksploitasi. Jika ketiga unsur tersebut terpenuhi, maka bisa dikategorikan sebagai perdagangan orang.
Kepala Advokasi YLBH Bali, Michael Angelo mengungkapkan unsur tersebut juga dapat dikatakan telah terjadi perdagangan orang bahkan hanya dengan pada tahap proses perekrutannya.
“Tindak pidana perdagangan orang ini kalau diartikan secara mudahnya adalah mengambil atau menculik baru di eksploitasi. Namun, kalau kita lihat dari penjelasan UU, pada proses perekrutan seseorang yang akan dieksploitasi pun itu sudah termasuk kedalam perdagangan orang,” jelasnya, Selasa (20/9).
Penyebaran perdagangan orang saat ini merata terjadi di Indonesia. Anak dan perempuan menjadi korban perdagangan orang yang ditunjang dengan aspek kemiskinan, ketidakmampuan, hingga pengangguran, sehingga hal tersebut menjadi faktor utama dan menjadi peranan besar perdagangan orang yang mengakibatkan melalaikan prinsip hak asasi manusia.
Tindak pidana perdagangan orang melanggar hak asasi manusia, untuk itu bagi seseorang yang terbukti melanggar, diberikan penerapan sanksi pidana berupa kurungan penjara minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun.
Selain sanksi pidana juga dijerat dengan sanksi denda sebesar Rp150 juta hingga Rp600 juta untuk perorangan. Kemudian, untuk perusahaan, diberikan sanksi penjara minimal 9 tahun dan maksimal 45 tahun dan denda sebesar Rp360juta hingga Rp1,8 miliar.
“Telah banyak kami menemukan instansi yang belum memiliki legalitas dan izin yang diperlukan instansi agar disebut instansi legal. Sehingga baik perorangan maupun perusahaan dapat dikenakan pasal pidana tindak perdagangan orang,” ujarnya.
Ia melanjutkan, tindak pidana perdagangan orang ini memiliki satu kesatuan dengan beberapa pasal yang ada di KUHPidana yang tidak terlepas dalam kategori penipuan dan penggelapan.
Michael membeberkan ragam faktor masyarakat mudah mengalami eksploitasi perdagangan orang adalah tertarik dengan adanya iming-iming pendapatan besar dengan syarat yang mudah.
“Menurut saya ada tiga faktor mengapa masyarakat mudah terjerat human trafficking, yaitu kurangnya inisiatif mencari tahu perusahaan, di iming-imingi gaji besar, serta perizinan yang mudah,” katanya.
Sejalan dengan Michael, Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Bali, I Gusti Ketut Bagus Ery Prabawa berharap masyarakat dapat lebih selektif lagi dalam melihat dan memilih peluang bekerja di luar negeri yang legal.
“Masyarakat yang ingin mencari pekerjaan di luar negeri maupun dimanapun, tolong dilihat dahulu perusahaannya karena sudah banyak terjadi hal mengenai perdagangan orang dan eksploitasi kepada pekerja,” imbaunya.
“Seperti yang sudah-sudah, lowongan pekerjaan ilegal ini didapat dari media sosial. untuk itu perlu di cek lagi latar belakang perusahaan. Jika ragu silahkan hubungi BP3MI Bali atau ke Dinas Ketenagakerjaan Bali,” lanjutnya.
Ia juga mengingatkan bahwa dari kejadian yang sudah terjadi, keberangkatan pekerja ke luar negeri idealnya adalah memiliki visa kerja. Sindikat ilegal biasanya hanya memakai visa liburan dimana proses mendapatkannya lebih mudah dibandingkan dengan peraturan resmi keberangkatan pekerja ke luar negeri.
Hingga saat ini baik LBH Bali maupun BP3MI Bali terus melakukan upaya preventif dan represif agar perdagangan orang yang niatnya bekerja di luar negeri dapat diminimalisir.
“Kita terus melakukan kegiatan sosialisasi melalui media sosial dan untuk pekerja yang akan berangkat ke luar negeri disiapkan kegiatan orientasi pra pemberangkatan. Kami juga mengimbau para pekerja untuk memberitahu teman atau keluarga mereka yang lain agar mengikuti prosedur yang legal jika ingin bekerja ke luar negeri,” tutupnya.