Birokrasi Patronasi dan Kasus Brigadir Yosua

PIJAR-JAKARTA – Kasus penembakan Brigadir Yosua Hutabarat telah menyita perhatian publik selama dua bulan ini. Saat ini, kepolisian, sedang berusaha keras untuk menyelesaikan perkara ini dan mengembalikan legitimasi institusinya di mata publik, seperti yang diminta berulangkali oleh presiden. Sampai artikel ini ditulis, setidaknya lima orang sudah menjadi tersangka dan tidak kurang sebanyak delapan puluh tiga polisi diperiksa karena terindikasi menghalangi penyidikan pembunuhan berencana.

Terlepas dari kerja-keras polisi untuk mengungkap peristiwa ini, ada satu pertanyaan fundamental yang tidak boleh terlupakan: bagaimana bisa sistem birokrasi kepolisian tidak mampu mencegah peristiwa pembunuhan sekaligus rekayasa kasus yang terjadi di dalam institusinya? Terlebih lagi, seluruh rangkaian peristiwa dirancang oleh seorang jenderal yang memegang kuasa atas penegakan etika profesi. Pengungkapan kasus tentunya penting, akan tetapi, peristiwa ini haruslah menjadi momentum untuk melakukan perbaikan sistemik terhadap institusi kepolisian.

Mengakarnya praktik birokrasi patronasi di organisasi kepolisian (sebagaimana juga ditemukan di institusi lain) memungkinkan peristiwa seperti ini terjadi. Budaya birokrasi patronasi, atau sistem birokrasi “persaudaraan” yang mendominasi pengisian jabatan-jabatan strategis telah menjadi bagian dari kultur kerja kepolisian (occupational culture).

Penggunaan kekuasaan sehari-hari berjalan di atas platform relasi patronasi antara sang patron dengan kliennya. Jaringan patronasi tersebut dibangun berdasarkan konsep “hutang-budi” yang melibatkan sisi emosional seorang manusia. Konsep birokrasi macam ini mempunyai sejarah yang panjang di dalam kultur masyarakat Indonesia. Puncak birokrasi patronasi di republik ini terjadi di zaman orde baru, dengan konsep “bapakisme” nya, di mana Soeharto menjadi “bapak” untuk semua pihak. Loyalitas terhadap sang bapak menjadi hal yang paling utama dalam menjalankan birokrasi pemerintahan.

Baker (2012) dalam disertasi etnografi doktoralnya mengenai institusi kepolisian di Indonesia di London School of Economics and Political Science bahkan menyatakan bahwa kepolisian Indonesia mempraktikkan apa yang dia sebut “anti-birokrasi birokrasi.” Anti-birokrasi birokrasi digambarkan sebagai sebuah birokrasi yang tidak memiliki sistem lain selain jaringan loyalitas antara patron-klien (hal. 75). Di dalam literatur yang membahas kultur kerja kepolisian, pola hubungan “persaudaraan” ini dikenal dengan konsep abang-adik asuh.

Di dalam tipe birokrasi ini, kecapakan seorang adik asuh utamanya dinilai dari banyaknya “manfaat” yang dapat diberikan sang adik kepada “abangnya.” Lebih jauh lagi, Baker juga mengatakan sangat penting bagi aparatur kepolisian untuk memiliki patron eksternal, yang berasal dari luar institusi kepolisian untuk membiayai operasional institusi yang selalu mengalami defisit (hal.88).

Apabila seorang polisi ingin sukses dalam kariernya, dia dituntut untuk mampu memahami dan mempraktikkan tipe birokrasi ini. Tidak heran kita melihat setidaknya ada tiga puluh lima polisi yang rela “pasang badan” untuk sang patron yang bernama Ferdy Sambo. Dalam hal ini, Sambo yang merupakan jenderal polisi bintang dua termuda dengan posisi yang strategis dianggap sebagai patron yang potensial untuk kliennya. Sangat mungkin, para adik asuh ini sudah menjadi bagian jaringan patronasi sang abang, sehingga membuat kabur batas loyalitas kepada institusi dan individu.

Birokrasi patronasi ini menjadi sangat berbahaya ketika dipraktikkan oleh sebuah institusi yang memiliki kekuasaan yang luar biasa, utamanya dalam penegakan hukum. Patronasi dapat tumbuh subur karena kekuasaan penegakan hukum menjadi instrumen penting dalam pemeliharan “jaringan persaudaraan” (patronage network). Kekuasaan untuk melakukan upaya paksa tanpa pengawasan yang berarti terhadap individu berupa pemanggilan, penangkapan, penyitaan harta benda dan penahanan menjadi aset penting dalam pemeliharaan birokrasi macam ini. Lahir tendensi untuk menggunakan kekuasaan penegakan hukum sebagai “alat tukar” di dalam jaringan patronasi.

Hal ini disebabkan karena begitu mudahnya bagi seorang polisi untuk melakukan monetisasi dan utilitasi kekuasaan itu, yang hasilnya kemudian dipakai untuk membangun dan memelihara jaringan birokrasi patronasi. Di sini, hukum tertulis tidak lebih dipakai hanya sebagai alat untuk memelihara relasi kekuasaan antara sang patron dengan kliennya. Sebagai contoh, dalam birokrasi tipe ini, sang abang asuh dapat dengan mudah menempatkan sang adik asuh ke dalam posisi-posisi strategis yang sering disebut dengan jabatan “basah.” Akibatnya, jaringan patronasi ini membentuk apa yang dinamakan, meminjam istilah yang dilontarkan oleh Menkopolhukam, “mabes di dalam mabes.”

Peristiwa ini hanyalah sebuah simtom dari sebuah penyakit yang dilahirkan oleh birokrasi patronasi. Oleh karena itu, mengungkap peristiwa ini dengan terang-benderang saja tidak cukup. Publik sudah disuguhkan pertunjukan bagaimana seorang patron, atas nama institusi, dapat dengan mudahnya mengerakkan sejumlah klien untuk mempermainkan hukum dan merekayasa kasus. Loyalitas terhadap sang patron memegang derajat lebih tinggi daripada sumpah jabatannya. Publik juga ditunjukkan bagaimana tidak ada mekanisme internal yang dapat mencegah terjadinya peristiwa pembunuhan dan rekayasa kasus yang dilakukan oleh Ferdy Sambo dan klien-kliennya.

Melihat betapa seriusnya persoalan ini, solusi-solusi normatif seperti perbaikan sistem rekruitmen dan promosi berdasarkan “merit system” hanya akan menjadi “paper-tiger” tanpa dibarengi komitmen politik yang serius. Ketika persoalannya kultur birokrasi, selain solusi normatif, perlu sebuah komitmen politik untuk secara serius dan berkesinambungan untuk melakukan reformasi birokrasi di tubuh kepolisian Indonesia. Perlu sebuah keberanian untuk membatasi kekuasaan untuk bertindak subjektif secara ketat, sehingga jaringan birokrasi patronasi tidak dapat tumbuh subur di institusi kepolisian.

Mungkin para pemangku kebijakan di republik ini dapat belajar dari apa yang terjadi di Cook County, Chicago, Amerika Serikat, pada tahun 1980an. Pada masa itu itu, birokrasi patronasi melanda aparat penegak hukum di sana, mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai advokat. Saking frustasinya, Federal Bureau Investigation (FBI) melakukan langkah ekstrem: FBI menggelar operasi undercover selama tiga-setengah tahun bernama “operation greylord” dengan menanamkan agennya untuk berpura-pura menjadi penegak hukum yang korup untuk membongkar birokrasi patronasi dan korupsi penegakan hukum yang terjadi.

Hasilnya, 93 orang ditangkap dari pihak kepolisian, kejaksaan, hakim dan pengacara. Dua di antara mereka yang ditangkap bunuh diri karena malu. Sampai saat ini, operation greylord menjadi salah satu operasi tersukses yang pernah digelar oleh FBI. Akibatnya, reformasi birokrasi besar-besaran terjadi. Mudah-mudahan, bangsa ini tidak perlu melakukan strategi yang ekstrem seperti ini.

*)Aristo Pangaribuan, Dosen tetap Fakultas Hukum UI.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *