PIJAR-JAKARTA – Presiden Kongres Advokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto mengusulkan perlunya dibentuk Omnibus Law jilid 2 tentang Penegakan Hukum. Disitu, semua aturan soal penegakan hukum bisa disatukan, sehingga aturan-aturan terkait penegakan hukum terkonsentrasi dalam satu Undang-Undang khusus.
“Jadi tak ada lagi UU Kepolisian, UU Kejaksaan, UU Advokat, UU Kekuasaan Kehakiman yang masing-masing berdiri sendiri. Saya berharap ini bisa disatukan dalam satu omnibus law penegakan hukum,” ujar Tjoetjoe Sanjaja Hernanto dalam sebuah diskusi daring, Sabtu, (20/8/2022).
Dalam pandangannya sebagai advokat, untuk profesi advokat sendiri nyatanya masih banyak hal yang harus dibenahi. Utamanya bagaimana profesi advokat bisa dihormati sebagai penegak hukum, bukan cuman advokat KAI atau Peradi, tapi semua yang berprofesi sebagai advokat. Hingga saat ini, Tjoetjoe masih merasa advokat belum disegani dalam lapisan masyarakat. Contoh nyatanya bisa dilihat dalam pemanggilan saksi.
“Advokat ini ngundang saksi aja kadang gak bisa, beda sama polisi atau jaksa kalau ngundang saksi dan gak mau datang ada sanksinya,” ungkapnya.
Alhasil, dengan timpangnya kepatuhan saksi akibat ketiadaan sanksi dari sisi advokat, penegakan hukumnya menjadi tidak tercapai. Jadi pekerjaan besarnya, bagaimana advokat bisa dihormati sebagai sebuah profesi. Semestinya hal ini menjadi tugas Dewan Advokat Nasional untuk menumbuhkan kehormatan advokat dan memunculkan kewenangan yang kuat seperti pemberian sanksi tadi misalnya.
“Terus terang, advokat tanpa kewenangan ibarat macan ompong,” tegasnya.
Ia juga menyoroti fenomena advokat saling lompat antar satu organisasi ke organisasi advokat lainnya. Misalnya, seorang advokat diskorsing di organisasi advokat A, tapi yang bersangkutan malah pindah ke organisasi advokat B. “Ini perlu dihindari!”
Selain itu, kualitas seorang advokat juga dirasanya sangat perlu untuk ditingkatkan. Ia sempat menyinggung, jangan sampai yang daftar Ujian Profesi Advokat (UPA) 100 orang, tapi yang lulus misalnya ada 150 orang. Dalam konteks pelanggaran seperti ini harusnya peranan Dewan Advokat Nasional menjadi sangat penting.
Namun untuk membentuk kualitas itu, hal utama yang harus disamakan adalah soal standar profesi advokat. Saat ini, menurutnya standar advokat hebat di mata masyarakat masih simpang siur dan berbeda-beda tafsir. Apakah definisi advokat hebat itu harus yang punya Lamborghini? Atau harus yang memimpin organisasi advokat? Atau harus advokat yang sudah profesor? Ataukah advokat yang banyak dipublikasi media?
“Jadi kalau tak ada standar advokat ini bisa-bisa orang menaruh standar kualitas advokat itu menjadi liar, maka dari itu perlu dibuatkan standar advokat berkualitas itu seperti apa,” harapnya.
Persoalan lain yang disorot Tjoetjoe perihal persyaratan menjadi seorang advokat. Dalam UU Advokat yang kini berlaku dipersyaratkan seorang advokat harus jujur dan berlaku adil. Pertanyaannya, bagaimana cara mengukur advokat tersebut benar-benar jujur dan bersifat adil? Seharusnya, kata dia, syarat-syarat untuk menjadi advokat itu yang bisa diukur.
Salah satu contoh konkritnya, kata Tjoetjoe, adalah soal batasan umur. UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) Pasal 3 ayat (1) huruf d menggariskan bahwa batas minimal umur untuk menjadi seorang advokat adalah 25 tahun. Ia sendiri keberatan dengan pengaturan itu. Menurutnya, banyak mahasiswa perguruan tinggi hukum yang lulus sarjana hukum dengan umur di bawah 20 tahun. Seharusnya mereka yang telah lulus sarjana hukum, berkualifikasi baik bisa langsung bergabung menjadi advokat.
“Jadi kalau ditanya apakah setuju dengan batas bawah umur, saya ga setuju. Apakah setuju dengan batas atas? Sebenarnya dibatasi 45 tahun, tapi sekarang kan ga ada batas atasnya. Terpaksa kita harus menghormati hukum yang berlaku.”
Eksistensi UU Advokat juga disebut Tjoetjoe tak lepas dari permasalahan. Fakta menariknya, UU Advokat disebutnya adalah UU pertama yang tidak ditandatangani Presiden yang kala itu menjabat. Fakta lainnya, UU advokat adalah undang-undang yang tidak mempunyai PP (Peraturan Pemerintah). UU Advokat juga merupakan undang-undang yang paling banyak di Judicial Review (JR).
Dengan sekelumit persoalan advokat yang disorot tjoetjloe, awalnya ia berpikir bagaimana jika solusinya adalah memperbaiki UU advokat saja? Namun seiring dengan terkuaknya permainan aparat penegak hukum dalam kasus Ferdy Sambo yang viral belakangan, ia berpikir rezim penegakan hukum perlu diubah dan diperbaiki secara keseluruhan melalui Omnibus Law Penegakan Hukum. Dengan begitu, diharapkan sistem penegakan hukum di negara ini menjadi bisa lebih baik.