3 Sistem Kewarisan Adat: Individual, Kolektif, dan Mayorat

PIJAR-JAKARTA – Seperti yang diketahui bersama, dalam pembagian harta warisan di Indonesia, dikenal adanya tiga hukum waris, yakni hukum waris adat, hukum waris Islam, dan hukum waris perdata. Lebih lanjut, dalam hukum waris adat, dikenal pula adanya tiga sistem kewarisan adat, yakni sistem kewarisan individual, kolektif, dan mayorat.

Soerojo Wignjodipoero dalam Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat menerangkan bahwa secara teoritis hukum waris adat di Indonesia mengenal banyak ragam sistem kekeluargaan. Namun, di antara sekian banyak ragam tersebut, yang paling menonjol adalah prinsip patrilineal, matrilineal, dan bilateral atau parental.

Secara singkat, patrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis dari pihak Bapak. Dalam sistem ini, kedudukan pria lebih menonjol dibandingkan wanita dalam hal pembagian warisan.

Kemudian, matrilineal adalah sistem kekerabatan yang ditarik dari garis pihak Ibu. Dalam sistem ini, kedudukan wanita lebih menonjol daripada kedudukan dari garis Bapak.

Lalu, bilateral atau parental adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari kedua belah pihak, Bapak dan Ibu. Dalam sistem ini, kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan dalam hal mewaris adalah sama atau setara.

Sistem Kewarisan

Kemudian, diterangkan Soerojo Wignjodipoero pula bahwa dalam sistem kewarisan adat, dikenal dengan adanya tiga jenis sistem. Adapun sistem yang dimakud, antara lain sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat. Berikut ulasan selengkapnya.

  1. Sistem Kewarisan Individual

Diterangkan Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 28), sistem kewarisan individual adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan memiliki harta warisan secara perorangan.

Lebih lanjut, diterangkan bahwa sistem kewarisan adat ini umumnya terdapat pada masyarakat hukum adat yang menganut sistem kekerabatan secara parental atau bilateral.

Hilman Hadikusuma dalam Hukum Kekerabatan Adat, menerangkan bahwa sistem kewarisan ini dipengaruhi oleh tiap-tiap keluarga yang telah hidup sendiri dan bertanggung jawab kepada keluarganya yang utama, seperti halnya masyarakat adat Jawa.

Ciri-ciri sistem kewarisan individual adalah harta warisan dapat dibagi-bagi antara para ahli waris.

Kemudian, menurut Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 39) kelebihan sistem kewarisan individual adalah pewaris dapat bebas memiliki harta waris tanpa dipengaruhi anggota keluarga lain.

Adapun kekurangan sistem kewarisan individual adalah pecahnya harta warisan dan renggangnya tali kekerabatan juga kemungkinan timbulnya hasrat ingin menguasai secara pribadi.

  1. Sistem Kewarisan Kolektif

Sistem kewarisan kolektif adalah sistem kewarisan di mana para ahli waris dapat mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi secara bersama-sama.

Diterangkan Djaren Saragih dalam Hukum Adat Indonesia, dalam sistem pewarisan ini, harta peninggalan dianggap sebagai keseluruhan yang tidak dapat terbagi dan dimiliki bersama-sama oleh para ahli waris, seperti halnya pada masyarakat Minangkabau dan Ambon. Adapun contoh harta bersama-sama yang tidak dapat dibagi adalah harta pusaka.

Sistem kewarisan adat kolektif dipengaruhi oleh cara berpikir masyarakat adat yang mementingkan kebersamaan atau komunal. Ciri-ciri sistem kewarisan kolektif adalah harta pusaka yang diwarisi bersama dan tidak boleh dibagi-bagikan; hanya boleh dibagikan hak pakainya saja.

Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 29) menerangkan bahwa kelebihan sistem kewarisan kolektif akan terlihat jika harta keluarga dapat berperan atau berfungsi, baik di masa lalu, masa sekarang, dan seterusnya. Kemudian, akan berfungsi jika hubungan keluarga masih dapat dibina dan dikembangkan.

Adapun kelemahan dari sistem kewarisan kolektif adalah dapat menimbulkan cara berpikir yang sempit dan tertutup, kesulitan dalam mencari kerabat yang dapat diandalkan, dan memudarnya rasa setia terhadap kerabat.

  1. Sistem Kewarisan Mayorat

Sistem kewarisan mayorat adalah sistem di mana harta waris diberikan kepada anak tertua yang bertugas menjadi kepala keluarga dan menggantikan kedudukan ayah atau ibunya.

Dalam sistem kewarisan mayorat, dikenal dengan adanya mayorat laki-laki dan mayorat perempuan. Mayorat laki-laki berarti laki-laki tertua lah yang menjadi ahli waris tunggal dari pewaris. Sebaliknya, mayorat perempuan berarti anak perempuan tertualah yang menjadi ahli waris.

Surwansyah (dalam Sutrisno, 2020: 27) menerangkan jika sistem ini sama halnya dengan sistem kewarisan adat kolektif. Namun, berdanya, hak penerusan diberikan kepada anak yang tertua.

Perlu dicatat bahwa dalam sistem kewarisan adat ini, anak pertama ini bukanlah pemilik perseorangan, melainkan berperan sebagai pemegang mandat. Adapun kelebihan dari sistem kewarisan mayorat adalah jika kepemimpinan anak tertuanya bertanggung jawab, keutuhan keluarga dapat dipertahankan. Kemudian, sebaliknya, jika tidak bertanggung jawab, keutuhan keluarga pun terancam.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *