Ada Tiga Pandangan Soal Amendemen Konstitusi

PIJAR-JAKARTA – Raut wajah mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna mendadak serius saat membahas amendemen UUD 1945 pasca reformasi tahun 1998. Mengenakan batik lengan panjang berwarna coklat, Gede Palguna di atas podium bercerita panjang proses amendemen konstitusi bersama sejumlah koleganya di Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999 silam. Tapi belakangan, ia cemas adanya wacana amendemen konstitusi yang ingin mengembalikan ke UUD 1945 sebelum amendemen yang dinilainya tidak tepat.

“Saya agak cemas juga adanya satu gerakan ingin kembali ke UUD 1945,” ujarnya dalam sebuah diskusi memperingati Hari Konstitusi bertajuk “20 Tahun Perubahan UUD 1945” di Gedung MK, Kamis (18/8/2022).

Dia sempat dimintakan pendapatnya oleh sebuah koran daerah tentang amendemen kelima konstitusi. Baginya perubahan sebuah keniscayaan. Karena itulah UUD 1945 memberi peluang atau sarana melalui Pasal 37 UUD Tahun 1945. Hanya saja upaya mengamendemen memerlukan syarat dan alasan terlebih dahulu. Namun, Palguna memberikan jawaban seraya bergurau.

“Tapi Anda tahu, power-ranger mau berubah perlu alasan untuk berubah. Jadi tidak bisa tiba-tiba berubah menjadi monster. Sekarang alasannya apa (mengamandemenn, red)?”

Selaku salah satu pelaku sejarah yang pernah mengamendemen konstitusi saat menjadi anggota MPR, Palguna melihat kalangan yang menghendaki kembali ke UUD 1945 lama dengan dalih hasil amendemen konstitusi yang berlaku saat ini telah berkhianat dari cita-cita bangsa. Dia menerangkan amendemen konstitusi yang dilakukan kala itu merupakan turunan dari Pembukaan UUD 1945. Dalam hukum tata negara, pembukaan merupakan ideologi dan cita-cita besar yang hendak diwujudkan dalam konstitusi.

Karena itulah, kesempatan pertama dengan tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali itu beralasan Pembukaan UUD 1945 mengacu pada teks proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Bung Karno. Saat itu, tim yang merumuskan konsep amendemen ingin mewujudkan Indonesia sebagai negara demokrasi. “Itulah kelanjutan dari proklamasi kebangsaan Indonesia,” ujarnya.

Dia mengakui ada kekurangan dalam sistem presidensial, sehingga perlu amendemen konstitusi. Seperti ciri-ciri dalam sistem presidensial, masa jabatan presiden bersifat pasti, hingga adanya alasan konstitusional presiden dapat dimakzulkan atau di-impeachment melalui MK dan akhirnya MPR yang memutuskanMenurutnya, MK tak memiliki kewenangan “memecat” presiden karena presiden dipilih oleh rakyat, sehingga MPR sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tersebut.

Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti mengatakan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir belakangan isu amendemen kelima konstitusi amat kencang dimulai dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang menghendaki penguatan kewenangan. Namun belakangan sejumlah partai politik mendorong masuknya Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

Tapi, konstelasi politik di masyarakat menolak upaya amendemen konstitusi lantaran berpotensi membuka kotak pandora. MPR pun mengubah ‘siasat’ dengan pembentukan PPHN tanpa mengubah konstitusi, tapi dengan konvensi ketatanegaraan. “Apakah betul kita perlu mengubah konsttusi? Perubahan evaluasi konstitusi kita harus memikirkan lebih mendalam,” kata Bivitri.

Menurutnya, dinamika di masyarakat terdapat tiga pandangan. Pertama, kelompok yang menginginkan kembali ke naskah UUD 1945 sebelum amandemen. Kedua, kelompok yang mempertahankan UUD 1945 hasil amandemen yang berlaku saat ini. Ketiga, kelompok yang menginginkan amandemen kelima UUD 1945.

“Kelompok DPD di MPR mengusulkan perubahan kelima. Kalau saya setuju dengan konstitusi yang sekarang. Saya tidak setuju diubah yang kelima dalam situasi politik sekarang. Kalau lima tahun ke depan bisa kita diskusi lagi,” katanya.

Peneliti senior Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu menilai ada legalisme yang melampaui konstitusionalisme. Hal tersebut tak lepas dari sumbangsih politik era orde baru dan isolasi isu politik. Padahal, kata Bivitri, konstitusi tak dapat mengatur semua hal secara rinci. Karenanya dibutuhkan banyak UU yang perlu dikaji dan praktik ketatanegaraan Indonesia tak banyak berkembang.

Bivitri melihat adanya kegagalan dari crafting democracy dengan adanya kerusakan partai politik. Baginya literatur hukum tata negara memiliki pendekatan konstitusional enginering. Namun crafting dapat terjadi bila partai politik memiliki pandangan ideal dan etika politik terbangun. Sayangnya, masyarakat partai politik belum memilikinya.

“Karena kita masih berkutat dengan presidential threshold dan tidak mampu menyelesaikan presiden dan DPR yang semuanya dari partai politik. Begitu juga pengisian jabatan publik dari partai politik. Jadi gagal melakukan reformasi partai politik. Menurut kelompok ini (pertama dan ketiga, red) kita sudah gagal konstitusinya.”

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *