PIJAR-JAKARTA – Banyak personil kepolisian yang ditengarai melanggar kode etik profesi sebagai anggota Polri dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua hutabarat alias Brigadir J sebagai bentuk menghalang-halangi proses penyidikan atau lazim disebut Obstruction of Justice. Ketidakprofesionalan sejumlah anggota Polri dalam olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) yang berdampak terhadap keberadaan barang bukti menjadi salah satu contoh dari banyak kasus obstruction of justice. Lantas seperti apa aturan obstruction of justice dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Prof Suparji Ahmad menerangkan tindakan menghalang-halangi proses peradilan telah diatur dalam KUHP dan hukum pidana khusus (UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi). Dalam KUHP, tindakan obstruction of justice dalam sejumlah pasal dapat diartikan sebagai tindakan menghalang-halangi proses peradilan.
Hanya terdapat satu pasal yang secara jelas menyebutkan unsur dan tujuan yakni frasa “untuk menghalang-halangi atau menyusahkan pemeriksaan dan penyelidikan atau penuntutan” sebagaimana tertuang dalam Pasal 221 ayat (1) sub 2e KUHP. Pasal 221 ayat (1) KUHP juga mengatur mengenai perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan.
“Perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan (Contempt of Court),” ujarnya pada Senin (15/8/2022).
Baginya, perbuatan menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan dan menghalang-halangi penyidikan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana terhadap proses peradilan. Termasuk perbuatan merekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Menurutnya, perbuatan tersebut pun tergolong sebagai obstruction of justice sebagaimana diatur dalam Pasal 221, 231 dan juga 233 KUHP.
“Perbuatan yang juga tergolong sebagai menghalang-halangi proses peradilan tersebut bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu, atau mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan,” ujarnya.
Dia menerangkan salah satu bentuk klasifikasi perbuatan contempt of court dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Bahkan, dapat dilakukan dalam dan luar ruang pengadilan. Sedangkan obstruction of justice merupakan bentuk dan klasifikasi contempt of court berupa obstruksi peradilan menjadi suatu perbuatan yang menimbulkan dampak memutarbalikan atau mengacaukan untuk menghalangi jalannya penyelenggaraan peradilan.
Menurutnya, tindak pidana dalam Rancanga Kitab Undang Hukum Pidana (RKUHP) pun mengatur contempt of court dan obstruction of justice. Secara substansial, contempt of court dalam RKUHP hanya diberlakukan terhadap (subjek) masyarakat di luar aparat penegak hukum. Boleh dibilang, RKUHP belum mengatur soal bagaimana bila penegak hukum di lingkungan peradilan, seperti seperti hakim, penyidik, dan penyelidik melakukan perbuatan yang merendahkan martabat, kewibawaan, dan/atau kehormatan lembaga peradilan.
Karenanya, diperlukan rumusan norma terhadap penegak yang berpotensi melakukan tindakan-tindakan yang dapat merendahkan kehormatan dan kewibawaan lembaga peradilan. Dengan begitu menjadi layak ketentuan contempt of court berlaku bagi aparat penegak hukum. Karena kedudukan hukum terhadap semua warga negara sama, tak terkecuali penegak hukum. “Wibawa pengadilan harus tetap terjaga, aturan hukum yang ada saat ini belum cukup mengakomodasi semua jenis penghinaan dalam persidangan,” kata dia.
Direktur Solusi dan Advokasi (SA) Institute itu menjelaskan Pasal 221 ayat (1) angka 1 KUHP mengatur tegas obstruction of justice. Ancaman tindakan menghalang-halangi proses penyidikan pidana penjara maksimal 9 bulan. Menurutnya, pemidanaan terhadap orang-orang yang menghalangi proses hukum menjadi penting agar setiap pelaksanaan putusan peradilan dihormati oleh masyarakat.
Namun sayangnya, praktik penerapan Pasal 221 KUHP dipandang tak mampu menjangkau berbagai bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai obstruction of justice. Sebab, acapkali ditemui kendala yang menyebabkan terganggunya proses peradilan tindak pidana akibat banyak perlawanan dari oknum penegak hukum maupun pihak berkepentingan yang melakukan tindakan yang bersifat menghalangi proses peradilan. Seperti dengan cara tidak melaksanakan, merintangi, maupun menggagalkan suatu ketentuan hukum yang ada.
“Penguatan aturan obstruction of justice dalam RKUHP perlu dilakukan agar ide pembentukan sistem hukum pidana nasional Indonesia memiliki standar/parameter untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam penegakan hukum.”
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpandangan kasus tewasnya Brigadir J menjadi bagian uji coba penggunaan Pasal 221 KUHP tentang obstruction of justice terhadap pelaku yang justru berasal dari aparat penegak hukum. Ke depannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice masih perlu diperkuat dalam upaya pembaharuan hukum pidana melalui RKUHP yang prosesnya masih bergulir di DPR.
“Kedepannya ketentuan pidana terhadap obstruction of justice juga masih perlu diperkuat,” ujarnya Jumat (12/8/2022).
Kendati demikian, Eras begitu biasa disapa, menyayangkan belum diaturnya secara khusus terkait pidana rekayasa kasus atau rekayasa bukti (fabricated evidence). Bagi Eras, perbuatan merekayasa kasus atau barang bukti tergolong dalam upaya menghalang-halangi proses peradilan atau obstruction of justice. Dalam konteks obstruction of justice yang merekayasa kasus atau barang bukti bisa dalam bentuk menyampaikan bukti, keterangan palsu atau mengarahkan saksi agar memberikan keterangan palsu dalam proses peradilan pidana.
Dia menyarankan agar tindakan pelaku yang melakukan obstruction of justice tersebut perlu diperberat hukumannya, apalagi dilakukan oleh pejabat aparat penegak hukum dalam menjalankan proses peradilan. Selain itu, perlu diperberat lagi sepanjang pejabat negara melakukan obstruction of justice dengan tujuan agar seseorang yang tidak bersalah menjadi dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
“Atau dilakukan dengan maksud agar seseorang mendapatkan hukuman yang lebih berat dari yang seharusnya,” kata dia.