PIJAR | JAKARTA – Sistem ekonomi kerakyatan telah menjadi sistem ekonomi yang melekat pada pribadi Bangsa Indonesia. Sebagaimana sesuai dengan yang diamanatkan dan diatur dalam UUD 1945. Dimana konstitusi telah menyatakan secara gamblang bahwa Kesejahteraan rakyat harus menjadi tujuan utama dalam pengaturan ekonomi kerakyatan. Upaya untuk memecahkan problematika kesejahteraan di Indonesia, bangsa ini juga dihadapkan pada modernisasi dan globalisasi ekonomi yang sebagai tantangan yang teramat serius untuk mempertahankan kearifan budaya ekonomi bangsa tanpa tertinggal dari fenomena global tersebut. Hal ini yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam menggagas regulasi atau kebijakan dalam sistem ekonomi Indonesia yang harus tetap mengusung nilai-nilai ekonomi kerakyatan.
Pemberdayaan pada ekonomi kerakyatan merupakan bentuk kebijaksanaan dari program yang telah lama dikembangkan oleh pemerintah dalam membantu ekonomi rakyat sebagai bentuk kegiatan konsumsi, tujuannya tentu untuk membantu permodalan kecil yang murah dan mudah tanpa adanya jaminan fisik seperti halnya Perum Pegadaian. Program IDT adalah contoh kongkret upaya pemberdayaan ekonomi rakyat berupa bantuan modal pada kelompok masyarakat (pokmas) disertai pendampingan. Program IDT ini sangat berhasil di D.I. Yogyakarta dan Bali, tetapi bisa disebut gagal di Kalimantan Barat, Maluku, dan Irian Jaya. Dengan kata lain, ekonomi kerakyatan disusun sebagai upaya bentuk usaha bersama dengan dijiwai oleh nilai-nilai kekeluargaan. Dalam ekonomi kerakyatan, sumber daya yang potensial dikelola atas dasar kemandirian, dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Distribusi hasil produksi mengutamakan pemerataan kepada rakyat sebagai pendorong terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di tengah Pandemi Covid-19, tentu memberi dampak yang berimbas pada ekonomi baik negara, perusahaan hingga masyarakat tentu sangat membutuhkan nilai-nilai ekonomi kerakyatan. Secara penerapan memiliki konsep kolektivitas atau gotong-royong.
Dengan informasi penurunan angka pertumbuhan ekonomi, tentu kita akan bisa benahi ketika saling bahu-membahu. Di saat seperti ini dibutuhkan komunikasi yang baik antara pihak pemerintah dan juga para pelaku usaha dalam negeri. Keputusan pemerintah dalam memberikan tunjangan atau insentif kepada masyarakat yang terdampak sudah tepat dan sesuai dengan fungsi keberadaan Negara itu sendiri. Namun yang jadi pertanyaan, apakah insentif yang diberikan pada rakyat dapat menunjang keberlangsungan hidup dan perekonomian secara terus menerus atau dapat menghasilkan ekonomi yang lebih produkttif lagi.
Angka penyebaran Covid-19 saat ini masih menunjukkan tren naik baik secara nasional maupun global. Per tanggal 23 Juni 2021, angka kasus Covid-19 sudah mencapai 178.837.204 di mata global dan di Indonesia sendiri mencapai 2.033.421. Di sisi ekonomi, proyeksi pertumbuhan PDB global masih diam di angka -3,5 per bulan Januari. Lebih kurang 196 negara di seluruh bagian dunia menggelontarkan stimulus secara masif. Sekitar 12 persen PDB dunia digunakan untuk stimulus fiskal. Tekanan ekonomi di Indonesia dinilai sebagai salah satu yang paling moderat dengan pertumbuhan ekonomi sebesar -2,1. Bahkan kontraksi ekonomi moderat ini menjadi salah satu yang terkecil diantara negara G20 dan Asean. Daya tahan ekonomi yang baik ini tidak lain didukung oleh kebijakan yang cepat, terukur, dan melalui extraordinary policy. Terdapat ancaman resesi atas Pandemi Covid-19 yang tentu saja menjadi bayang-bayang perekonomian nasional. Setidaknya dengan adanya pembatasan yang berskala sosial sebagai bentuk konsekuensi regulatif yang membuat aktivitas transaksi secara langsung mengalami reduksi. Sehingga, menjadi mafhum apabila diakumulasikan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 anjlok hingga 2,97 persen dibandingkan pada kuartal yang sama tahun lalu yang mencapai 5,07 persen.
Ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat sendiri adalah kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) terutama meliputi sektor primer seperti pertanian, peternakan, perikanan, sektor sekunder seperti pengolahan paska panen, usaha kerajinan, industri makanan, dan sektor tersier yang mencakup berbagai kegiatan jasa dan perdagangan, yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasar dan membangun kesejahteraan keluarga tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat banyak (Primahendra, Riza. 2016).
Indonesia sebagai Negara yang mayoritas perekonomiannya ditopang oleh Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM) tentu memiliki implikasi multiplier effect yang begitu besar. Dilihat dari sisi produksi, banyak di antara pelaku usaha yang harus melakukan efisiensi faktor produksi akibat menurunnya permintaan dan terhambatnya distribusi barang. Salah satu efisiensi faktor produksi yang banyak dilakukan adalah dengan merumahkan pekerja. Terbukti, dari data yang dirilis Kemenaker sekitar 1,79 juta pekerja terpaksa di PHK.
Pemerintah setidaknya menyadari berbagai problem ekonomi yang ditimbulkan. Ketika proses usaha tidak berjalan normal dan banyak di antara pekerja yang di PHK atau mengalami penurunan penghasilan maka masalah baru muncul, yaitu daya beli masyarakat menurun. Oleh karena itu, Pemerintah melakukan refocusing anggaran untuk memberikan bantuan sosial kepada masyarakat yang kurang mampu maupun terdampak. Setidaknya sekitar Rp110 Trilliun disiapkan jaring pengaman sosial.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), jumlah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pada 2018 sebanyak 64,19 juta unit. Dari jumlah itu, baru sekitar 8 juta UMKM yang terhubung pasar digital hingga awal 2020.
Kemudian, pada Mei-Oktober 2020, melalui Gerakan Bangga Buatan Indonesia, jumlah UMKM yang terhubung ke pasar digital bertambah menjadi 2,7 juta UMKM. Pada 2021, sekitar 12 juta UMKM telah hadir dalam platform digital.
Hadirnya pemerintah termasuk pemerintah daerah dalam mewujudkan fasilitas bertumbuhnya model bisnis tersebut. Dukungan lain, misalnya, berupa pemberian subsidi ongkos kirim atau diskon agar produk UMKM yang baru masuk ke pasar digital menjadi kompetitif.
Sejauh ini yang telah dilakukan oleh Menteri Koperasi dan UKM adalah melakukan transformasi ekonomi digital secara menyeluruh, hal ini diharapan mampu menjadi kunci persiapan UMKM untuk dapat berdaya saing. Namun, berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh kementerian ini menunjukkan bahwa UMKM masih mengalami kendala literasi digital yang secara rata-rata masih rendah.
Terlebih lagi di era pandemi Covid-19 begini, kebutuhan pelaku usaha mikro dan kecil untuk dapat memanfaatkan dan mengakses teknologi digital kian begitu terasa. Apalagi ketika saat pandemi Covid-19 terjadi pembatasan aktivitas dan interaksi fisik yang berdampak pada usaha UMKM.
Bank Indonesia telah mendorong digitalisasi pada sistem pembayaran ekonomi kerakyatan yang berskala usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Memiliki potensi besar, ekonomi kerakyatan diyakini bakal menjadi sumber pertumbuhan baru nasional di tengah pandemi Covid-19. Besarnya potensi ekonomi kerakyatan karena memiliki 67,5 juta pelaku UMKM. Sayangnya hampir seluruh pelaku UMKM tersebut berada dalam sektor informal yang masih menggunakan sistem pembayaran konvensional.
Oleh: Anis Nur Nadhiroh SH MH/YLBH PIJAR