PIJARJAKARTA | Ketakwaan yang lakukan oleh nabi Ibrahim Kholilullah dan keluarganya merupakan ketaqwaan yang tinggi sehingga mereka merelakan semua yang mereka punya termasuk nyawa mereka kepada Allah SWT ini tergambarkan dengan adanya peristiwa pengorbanan nabi Ismail AS kepada Allah SWT karna berjanjinya nabi Ibrahim AS untuk berqurban dengan suatu sembelihan yang disebabkan Allah SWT telah mengabulkan doa nabi Ibarhim AS berupa permintaan anak yang soleh maka dikabulkanlah dengan lahirnya nabi Ismaill AS [1].
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku seorang anak yang termasuk orang yang saleh,” (QS Assofat ayat 100).
Dan perintah Allah SWT ini disambut dengan nabi Ismail AS dan ibundanya dengan penuh rasa patuh dan taat maka terdengarlah istilah “sam’an wa thoatan” (kami dengar dan kami taat) bahkan nabi Ismail AS membantu guna memperlancar proses pengurbanan beliau seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Ishak dengan perkataan beliau, “wahai ayahku kecangkanlah ikatan ku” padahal mereka telah digoda oleh makluk Allah SWT yang senantiasa selalu mencari celah untuk menyesatkan hamba-hamba Allah SWT yang soleh,.
Cobaan atau godaan yang dilontarkan oleh setan sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abu hurairoh RA bahwa setan mendatangi ibunda nabi Ismail AS dengan menjelek-jelekan perintah dari pada Allah SWT untuk mengurbankan nabi Ismail AS kemudian mejawab ibunda nabi Ismail dengan perkataan “jika itu memang perintah Allah SWT maka itu merupaka perkara yang sangat baik untuk dilaksanakan, begitupula jawaban dari pada nabi Ismail AS ketika didatangi oleh setan dengan berkata “Sungguh ayahmu ingin menyembelihmu dan berprasangka bahwa itu adalah perintah dari Allah SWT”, maka menjawab nabi Ismail AS, “maka laksanakanlah apa yang diprintahkan oleh Allah SWT dengan menyembelihku”. Kemudian menghadap setan kepada nabi Ibrahim maka berkata setan, “demi Allah aku telah melihat setan datang ke dalam mimpi mu dan memerintahkan kepada engkau untuk menyembelih anak mu“.
Kemudian nabi Ibrahim mengetahui bahwa itu adalah perkataan setan dan beliau menjawab, “pergilah engkau wahai yang dilaknat oleh Allah SWT”.
Dari gambaran akhlak keluarga nabi Ibrahim A.S ketika mendapat cobaan dari Allah SWT kita bisa bercermin dan mengambil pelajaran bahwa ada derejat di sisi Allah SWT yang lebih tinggi dari pada sabar dalam menghadapi pahitnya cobaan yaitu sifat ridho terhadap taqdir Allah SWT, sifat yang mendekati kata cinta terhadap taqdir Allah SWT, sifat yeng mendekati kata senang dengan apa yang Allah SWT taqdirkan kepada kita baik berupa kebaikan atau burukan menurut kita, sifat yang tidak membeda-bedakan antara pahit atau manis yang terpenting adalah itu datangnya dari Allah SWT.
Nabi SAW bersabda, “beribadahlah kepada Allah SWT dengan rasa ridho apabila engkau tidak mampu maka sabar dengan apa yang kau tidak senangi sunguh di dalamnya terdapat kebaikan yang banyak,” [2].
Imam Muhammad bin Muhammad Al Ghozali mejelaskan bahwa orang yang ridho terhadap taqdir Allah SWT menempati derajat setelah derjat tertinggi di sisi Allah SWT [3].
Selain contoh dari pada nabi Ibrahim dan keluarganya, Al Imam Asya’roni memberi gambaran orang yang ridho terhadap taqdir Allah SWT.
Bahwa nabi Isa AS pernah melawati seorang lelaki yang buta matanya dan lumpuh juga badanya tekena penyakit lepra bahkan sebagian daging dari tubuhnya sudah rusak karna penyakit lepra. Kemudian nabi Isa AS mendengar laki-laki tersebut berkata, “segala puji bagi Allah SWT yang telah menyelamatkan ku dari banyaknya makhluk Allah SWT terkena penyakit ini” maka bertanya oleh nabi Isa AS kepada laki-laki itu, “apa yang kau maksud dari Allah SWT telah menyelamatkan engkau dari pada penyakit ini?“ maka laki-laki itu menjawab, “Allah SWT telah menyelamatkan ku dari pada penyakit tidak sabar dan tidak ridho terhadap taqdir Allah SWT dan memberikan kepada ku pemahaman atas hakikat taqdir dari Allah SWT”, kemudian nabi Isa AS pun berkata, “kau benar” kemudian nabi Isa AS meminta izin kepada Allah SWT supaya laki-laki itu disembuhkan dari penyakitnya maka dikabulkan oleh Allah SWT bahkan lelaki itu menjadi orang yang memiliki paras yang tampan [4].
Maka dari pada itu alangkah baiknya kita mengambil kesimpulan dari perkataan Abuya Al habib Ahmad bin husin Assegaf beliau berkata: melihat akhlak mereka (orang-orang dekat kepada Allah SWT) bukanlah untuk kita tirukan sepenuhnya, akan tetapi untuk berkaca dari pada jauhnya akhlak kita terhadap akhlak mereka dan sebagai pendorongan (Albaits) agar kita meniru akhlak mereka walaupun sepersepuluh dari akhlak mereka.
Daftar Referensi:
[1] Admad bin Muhammad bin Ibrahim annaisabury, qososul anbiya ,dki Islamiyah 85
[2] Ihya ulumiddin, Muhammad bin Muhammad alghozali, dki Islamiyah hal 83
[3] Ihya ulumiddin, Muhammad bin Muhammad alghozali, dki Islamiyah hal 84
[4] Abdul Wahab Assyaroni, tanbihul mugrtarin, dki Islamiyah hal 180
Penulis: Ahmad Umar Hasan, Mahasiswa Magister S-2 Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran, Jakarta.
[ary]