Perkembangan Pembahasan Konvensi Kejahatan Siber di PBB

PIJAR-JAKARTA | Tidak dapat dielakkannya perkembangan teknologi tentu berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Di lihat dari segi positifnya, dapat memudahkan berbagai pelaksanaan pekerjaan. Namun di sisi lain pemanfaatannya juga berbanding lurus dengan ancaman terhadap keamanan. Hal itu dapat dilihat dari ribuan kasus kejahatan siber yang terjadi di Indonesia. Demikian pula dengan negara-negara lain di dunia menghadapi ancaman yang sama.

“Pada tahun 2010 disepakati apa yang disebut Salvador Declaration. Salah satu elemen utama dari deklarasi ini adalah memberikan mandat kepada UNODC, khususnya kepada organnya Commission on Crime Prevention and Criminal Justice, untuk membahas isu kejahatan siber dengan membentuk suatu open-ended intergovernmental expert group on cybercrime membahas secara komprehensif isu kejahatan siber,” ujar Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata Kementerian Luar Negeri RI, Caka A., dalam pemaparannya pada FGD Konvensi Kejahatan Siber PBB, Rabu (2/11/2022).

Setelah 6 kali sidang, Caka menerangkan diantara rekomendasi ialah mempertimbangkan instrumen hukum kejahatan siber di bawah kerangka PBB. “Perlu digarisbawahi di bawah PBB. Berarti inklusif, terbuka, dan transparan. Kemudian pada tahun 2019 pada sidang Majelis Umum PBB ke-74, diadopsi resolusi oleh Majelis Umum PBB No.74 yang intinya membentuk ad hoc committee to elaborate international convention on countering the use of information and communications technologies for criminal purposes,” kata dia.

Memang kejahatan siber kala itu baru diatur dalam Budapest Convention yang merupakan konvensi hasil susunan negara-negara Eropa yang tergabung dalam Council of Europe. Sehingga, dunia internasional terbagi dalam 2 pandangan berbeda terkait instrumen hukum untuk menangani kejahatan siber. Antara pihak yang merasa cukup dengan pengaturan Budapest Convention. Di pihak lain terdapat kalangan negara yang berpandangan bahwa diperlukan instrumen hukum yang inklusif dan transparan dapat menampung seluruh kepentingan negara.

Oleh karenanya, kini telah terbentuk Ad Hoc Committee to Elaborate a Comprehensive International Convention on Countering the Use of Information and Communications Technologies for Criminal Purposes dengan Indonesia diantaranya sebagai Rapporteur. Mewakili grup Asia Pasifik, atas nama Arsi Dwinugra Firdausy yang merupakan Minister Counsellor KBRI Wina bertanggung jawab atas posisi tersebut.

Rapporteur itu tugasnya kalau di PBB bukan notulensi, kalau itu (notulensi) hanya mencatat aja. Tapi Rapporteur itu yang mengesahkan ‘ini lho hasil perdebatan kita’, dan Indonesia berperan sebagai Rapporteur namanya pak Arsi,” terang Duta Besar RI untuk Austria Damos Dumoli Agusman dalam kesempatan yang sama.

Indonesia secara aktif terlibat dalam berkontribusi, baik secara tertulis mengenai scopestructure dan objectives maupun melalui diskusi bilateral intensif dengan sejumlah negara. Lebih lanjut perihal scopes, isu terkait yang diusulkan yakni tentang kedaulatan, perlindungan hak asasi manusia, bantuan dan perlindungan bagi korban dan berbasis gender, crime oleh badan hukum (legal persona), langkah konkret tangani hasil pelanggaran termasuk pemulihan aset, dan pencegahan.

Ia membeberkan salah satu persoalan yang diperdebatkan di PBB ialah mengenai pergelutan antara cyber dependent dengan cyber enable crime. Meski begitu, proses telah berjalan dan telah disepakati antara lain usulan sementara bab konvensi, timeline, dan metode pertemuan. Dialog konstruktif dan pertukaran pendapat juga terus bergulir mengenai elemen konvensi termasuk kerja sama internasional, kriminalisasi, scopes, dan lain-lain.

Meski masih terdapat kemungkinan terjadinya perubahan, terdapat pengalaman tersendiri dalam membuat konvensi sejenis ‘non self-executing treaty’, membuat penyusunan bab Konvensi Kejahatan Siber ini memiliki susunan sementara. Antara lain bab Konvensi Siber mencakup preamble, general provision, criminalization, procedural measures and law enforcement, international cooperation, technical assistance, preventive measures, mechanism of implementation, dan final provision.

“Tinggal apa nanti kontennya. So, we’re not starting from scratch. Kita sudah punya pengalaman untuk membuat konvensi sejenis ini,” ungkapnya.

Sebagai informasi, dalam membahas Konvensi Kejahatan Siber PBB ini telah dilaksanakan 3 dari 6 sesi negosiasi selama 2022. Sesi pertama berlangsung pada bulan Februari di New York; sesi kedua pada Juni 2022 di Wina; dan sesi ketiga pada 2 september 2022 di New York. Sedangkan sesi keempat akan dilakukan pada tanggal 9-20 Januari 2023 dan sesi kelima pada 11-21 April 2023 mendatang.

“Jadi tahun 2024 pada General Assembly nanti sudah harus diputuskan bahwa the convention will be born. Apakah akan ada kemungkinan ini ‘aborsi’? Ada, kalau pertentangan itu terlalu tajam dan tidak bisa diakomodasikan,” kata Damos.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *