PIJAR-JAKARTA – Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September hadir sebagai penanda perjuangan golongan petani dan pembebasan tani dari kesengsaraan masa kolonial. Meski pada akhirnya para petani dapat memiliki lahannya, namun bukan berarti perjuangan para petani telah selesai.
Petani merupakan garda terdepan pangan Nasional, sehingga apapun persoalan dan permasalahan petani khususnya terkait hukum harus dibantu dan didampingi oleh kuasa hukum atau advokat yang mengerti hukum.
Francisca R.N. Alfiani selaku Ketua Komite Advokasi dan Bantuan Hukum PERADI SAI menyatakan bahwa, persoalan petani saat ini masih tidak jauh dari garis kemiskinan dan masalah hukum terkait pertanian.
“Disayangkan sekali saat ini petani kita masih dibawah garis kemiskinan taraf hidupnya, disamping itu petani juga memiliki problem hukum mulai dari masalah pemasaran hingga pupuk logistik yang tidak efisien yang dapat kita tarik kesimpulan bahwa petani kita belum sejahtera,” jelasnya dalam acara Instagram Live Hukumonline bertajuk “Petani Masih Didiskriminasi, Bagaimana Seharusnya Advokat Berperan?”, pada Kamis (29/9).
Sekadar diketahui, saat ini contoh kasus yang sedang ditangani PERADI SAI adalah permasalahan hukum yang dialami petani di Rawa Pening, Jawa Tengah. Dikabarkan, ribuan petani yang memiliki sawah di sekitar Rawa Pening mengalami puasa tanam dan panen selama tiga tahun belakangan. Pasalnya, lahan sebagai sumber utama penghasilan mereka terendam atau tergenang air dampak dari penutupan Pintu Air Tuntang.
Fransiska menambahkan jargon petani sebagai garda terdepan pangan Nasional berbanding terbalik dengan nasibnya sendiri. Di saat harapan jargon tersebut adalah petani sejahtera karena telah menjadi penyumbang PDB negara terbesar, pada nyatanya nasib petanilah yang masih jauh dari kata sejahtera.
Hal ini menjadi masalah baru, ketika pemerintah dinilai tidak ada di sisi petani yang secara nyata menopang PDB negara. Hal ini dapat dilihat dari adanya aksi demo yang selalu diselenggarakan oleh petani pada Hari Tani yang menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah.
“Menurut saya, pemerintah pro petani itu ada, tetapi masih perlu ada perbaikan. Sektor pertanian ini memiliki andil besar untuk PDB kita, tapi sayangnya petani itu sendiri tidak sejahtera. Persoalan mengenai pemerintah ini masih seputaran subsidi pupuk dan kesenjangan distribusi pupuk kepada petani sehingga menimbulkan ketidakadilan,” tutur Francisca.
Konflik kecil antara petani ini juga terus diperparah dengan gempuran investor untuk pariwisata yang ingin menggarap sawah dan tanah milik petani. Ketika tidak ada keadilan dalam distribusi pupuk, maka petani yang tidak memiliki pupuk dan terus menerus merugi dengan sawahnya, mau tidak mau pada akhirnya menjual sawah kepada investor.
“Ini sangat disayangkan, ketika pupuk mahal membuat petani menjual sawah milik mereka. Belum lagi proyek pembangunan nasional. Kalau bisa, janganlah hilangkan sawah produktif untuk keperluan pembangunan nasional. Iya petani dapat ganti rugi, tetapi apakah dengan uang itu petani bisa bersawah lagi? Kan hidupnya di pertanian,” katanya.
Permasalahan hukum yang dihadapi oleh petani ini membuat PERADI SAI memberi bantuan hukum kepada petani.
“Peranan advokat sangat penting bagi petani. Problem petani itu begitu kompleks, disanalah advokat harus hadir karena merujuk pada istilah officium nobile. Kalau petani sebagai pertahanan negara dan advokat sebagai profesi yang mulia, maka kedua hal ini jika digabungkan dapat menjadi satu kesatuan sinergi yang bagus,” ucapnya.
Ia menambahkan, persoalan kompleks yang dihadapi oleh petani tidak hanya persoalan hukum. Namun juga mengenai sengketa lahan, susah mendapatkan kredit bank, dan penyuluhan hukum yang masih kurang sehingga perlu penyuluhan hukum secara berkala.
Francisca menyebutkan, petani di Indonesia saat ini tengah menghadapi persoalan hukum yang selalu sama.
“Karakteristik persoalan hukumnya sama, meski jika membahas lahan di setiap daerah pasti berbeda. Misalnya soal panen padi, atau soal tanah yang tidak bisa lagi ditumbuhi padi tetapi ketika dijual tidak bisa karena tanah basah tidak bisa dibangun sesuatu. Hal-hal inilah yang menjadi persoalan petani,” lanjutnya.
Ia juga menyinggung mengenai peraturan hukum yang diundangkan yang perlu dilihat lagi di lapangan, terkait tanah, sawah, dan kebun. Ketika banyak lahan pertanian dibeli untuk pariwisata, ada satu masalah baru yang timbul yaitu karakteristik masyarakatnya yang belum bisa.
“Pembangunan apapun yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya. Tetapi implementasi di lapangan malah banyak campuran kepentingan dan terjadi konflik, sehingga disanalah peran advokat sesungguhnya,” jelasnya lagi.
Bantuan hukum di Indonesia di konsepsikan sebagai suatu hak yang dapat dituntut oleh setiap masyarakat Indonesia. Hal ini dipandang sebagai hak asasi manusia sehingga program bantuan untuk memperjuangkan penegakan hak asasi manusia sudah sepatutnya dilakukan oleh mereka yang berprofesi sebagai advokat.