PIJAR-JAKARTA – Tak berselang lama sejak putusan uji materi terhadap UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada Juni 2022 lalu, DPR bergegas kembali mengusulkan merevisi UU tersebut untuk keempat kalinya. Malahan Badan Legislasi (Baleg) telah menyepakati revisi perubahan keempat UU 24/2003 agar masuk dalam paripurna untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR. Kesepakatan itu itu diambil dalam rapat pleno Baleg, pertengahan pekan lalu.
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan semua fraksi partai di Baleg secara bulat memberikan persetujuan agar revisi UU MK keempat kalinya agar disetujui menjadi usul inisiatif DPR dalam paripurna. Tapi, masing-masing fraksi partai memberikan sejumlah catatan. Pandangan mini fraksi pun didahului dengan proses pembahasan harmonisasi, sinkronisasi, dan pembulatan di Baleg.
Sementara Ketua Panitia Kerja (Panja) harmonisasasi revisi perubahan keempat UU 24/2003, M Nurdin menuturkan, secara garis besar perubahan keempat UU 24/2003 sebagai upaya penyesuaian dengan putusan MK No.96/PUU-XVIII/2020 dan No.56/PUU-XX/2022. DPR dalam merevisi UU dapat berlandaskan pada putusan MK yang masuk dalam RUU Kumulatif Terbuka.
Nurdin melanjukan penyempurnaan teknis redaksional yang disesuaikan dengan ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurutnya, terdapat beberapa usulan perubahan materi dalam RUU Perubahan Keempat UU 24/2003 itu.
Pertama, mengenai batas bawah usia calon hakim konstitusi, yang semula berusia 55 tahun saat ini (dalam perubahan keempat UU MK, red) menjadi berusia paling rendah 50 (lima puluh) tahun. Kedua, mekanisme evaluasi untuk hakim konstitusi oleh lembaga pengusul (DPR, Pemerintah, dan Mahkamah Agung) setelah lima tahun menjabat atau sewaktu-waktu jika ada laporan pengaduan ke lembaga pengusul. Ketiga, pembentukan majelis kehormatan MK. Keempat, penghapusan Pasal 87 terkait batas maksimal hakim konstitusi menjabat yaitu selama 15 tahun.
Merespon keputusan DPR yang bakal merevisi keempat kalinya UU 24/2003, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PuSaKo) Feri Amsari berpandangan adanya kejanggalan dalam upaya merevisi UU MK itu. Sebab, sudah dua kali UU 24/2004 diubah. Dengan demikian, sudah terdapat tiga UU MK yakni UU No.24 Tahun 2003 tentang MK; UU No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK; dan UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas UU No.24 Tahun 2003 tentang MK.
Padahal, UU 7/2020 baru saja diuji materil dan MK telah menerbitkan putusan. Setidaknya ada empat putusan dari empat perkara dengan pemohon uji materi yang berbeda yakni Putusan MK Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Allan Fatchan Gani Wardhana; Putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Priyanto; Putusan MK Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Violla Reininda dkk yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi; dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan Ignatius Supriyadi.
“Barusan saja UU 7/2020 direvisi dan kontorversial dan disidangkan di MK. Sekarang di revisi lagi,” ujarnya melalui keterangannya kepada Hukumonline, Senin (26/9/2022).
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum (FH) Universitas Andalas itu menilai menjadi soal yang direvisi antara lain soal usia, syarat menjadi calon hakim MK. Menurutnya, proses revisi kali ini dinilai tidak menghargai proses pengkajian perubahan UU MK sebelumnya. “Boleh jadi, perubahan usia dan berbagai hal dalam di UU MK hanya sebatas mengikuti perubahan arah politik, kepentingan sesaat meloloskan atau menghambat seseorang. “Memang ini patut dipertanyakan, tidak lumrah/lazim, gegabah seperti ini,” kata dia.
Menurutnya, alasan merevisi UU 24/2003 keempat kalinya menindaklanjuti putusan MK tidak perlu ditindaklanjuti dalam pembentukan atau revisi UU. Sebab, sifat putusan MK sudah final dan mengikat layaknya UU. Persoalannya, ia melihat DPR yang lebih pada upaya pengekang prinsip kebebasan, kemerdekaan kekuasaan kehakiman yakni dengan membangun kontrol baru terhadap MK. Padahal yang sedang bermasalah saat ini adalah Mahkamah Agung (MA). Dia menilai salah satu upaya mengontrol atau mengendalikan kekuasaan kehakiman melalui mekanisme evaluasi hakim MK dalam draf perubahan keempat UU MK.
“Bayangkan! Lembaga yang harusnya dikontrol oleh MK sekarang kemudian mereka yang harus melakukan evaluasi atau mengontrol?”
Padahal, sudah menjadi prinsip universal, Pasal 24 UUD 1945 menjadikan MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari campur tangan pihak manapun. Menurutnya, menjadi aneh kala kekuasaan kehakiman yang merdeka malah harus dievaluasi. Baginya, upaya tersebut menjadi tidak lazim, bahkan terlihat adanya upaya untuk “bermain” mengendalikan MK menjelang tahun politik tahun 2024.
“Bagi saya ini berbahaya upaya revisi UU MK ini jelang tahun politk, bukan tidak mungkin hakim diminta ‘quote unquote’ bertransaksi dengan lembaga yang memilihnya, dengan alat kendali yang bernama evaluasi,” lanjutnya.
Feri yang juga tercatat sebagai pendiri dari kantor hukum Themis Indonesia itu khawatir sebelum tahap evaluasi, hakim dapat bertemu dengan lembaga-lembaga yang mengevaluasinya. Pada saat itulah terbuka ruang potensi terjadinya transaksi politik. Padahal, perpanjangan masa jabatan diharapkan mampu menjauhkan para hakim konstitusi dari kepentingan politik.
“Ini yang janggal. Kok ada DPR yang kapasitas hukumnya dipertanyakan publik, lalu mempertanyakan dan mengevaluasi pula hakim hakim-hakim konstitusi,” kritiknya.
Seperti diketahui, MK telah memutus empat perkara uji formil dan materil UU 7/2020. Terdapat empat perkara yakni perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Allan Fatchan Gani Wardhana; Nomor 96/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Priyanto; Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Violla Reininda dkk yang tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi; dan Nomor 56/PUU-XX/2022 yang diajukan Ignatius Supriyadi.
Terhadap perkara 96/PUU-XVIII/2020, MK mengabulkan sebagian dan menyatakan Pasal 87 huruf a UU 7/2020 bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Sementara perkara nomor 56/PUU-XX/2022 adalah uji materiil terkait soal pengisian anggota majelis kehormatan MK dari unsur Komisi Yudisial. MK dalam putusannya mengabulkan permohonan pemohon sebagian yang mengganti unsur KY dengan unsur tokoh masyarakat. Sementara MK menolak dua perkara lainnya.