Sepuluh Aspek Hukum yang Harus Disiapkan Perusahaan Sebelum Go Public

PIJAR-JAKARTA – Kata Go Public sudah dikenal luas dalam dunia bisnis. Secara defenisi go public adalah suatu bentuk penawaran saham perusahaan kepada publik atau masyarakat. Dengan membeli saham tersebut, masyarakat atau investor bisa menjadi bagian dari kepemilikan perusahaan yang bersangkutan.

Go public juga disebut dengan Initial Public Offering (IPO). Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, IPO merupakan kegiatan penawaran efek (untuk menjual efek) kepada masyarakat yang dilakukan oleh emiten untuk pertama kalinya berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang mengenai pasar modal dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam webinar Hukumonline 2022 bertajuk “Memahami Seluk Beluk dan Persiapan dari Segi Hukum Terhadap Initial Public Offering di Indonesia”, Selasa (16/8), Senior Partner pada William Hendrik & William Djojonegoro Law Group, Hendrik Silalahi, menyampaikan bahwa emiten dapat melakukan penawaran umuk jika telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menawarkan atau menjual Efek kepada masyarakat dan Pernyataan Pendaftaran tersebut telah efektif.

Hendrik melanjutkan bahwa IPO membawa banyak manfaat kepada perusahaan. Seperti mendapatkan sumber pendanaan baru, memberikan keunggulan kompetitif, meningkatkan citra perseroan, meningkatkan likuiditas bagi pemilik/owner/investor/karyawan, dan mendapatkan insenfit perpajakan berupa pajak penghasilan sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan dan bersifat final, pemilik saham pendiri dikenakan tambahan pajak penghasilan final sebesar 0,5% dari nilai saham pada saat IPO, dan tarif pajak penghasilan bagi PT Tbk 3% lebih rendah dari tarif yang berlaku.

Namun sebelum memutuskan untuk go public, lanjut Hendrik,perusahaan secara internal harus mempersiapkan beberapa hal. Yakni memastikan dokumen-dokumen hukum, dokumen-dokumen keuangan termasuk juga bukti kepemilikan atas aset perseroan, dan perizinan-perizinan telah lengkap, masih berlaku, dan telah dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; memastikan kesiapan Perseroan terhadap penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) secara konsisten.

Kemudian menunjuk penjamin emisi efek; menunjuk para profesi penunjang (Konsultan Hukum, Notaris, Kantor Akuntan Publik, Kantor Jasa Penilai Publik (jika relevan); menunjuk Lembaga penunjang (untuk efek berupa saham: Biro Administrasi Efek); setelah penunjukan, berdasarkan diskusi dengan penjamin pelaksana efek dan/atau IPO advisor (jika ada) perseroan dapat mulai merancang struktur IPO.

Tak hanya itu, internal perusahaan juga harus melakukan review terhadap sepuluh aspek hukum dalam ruang lingkup uji tuntas. Pertama anggaran dasar meliputi Akta Pendirian dan pengesahannya, perubahan Anggaran Dasar terakhir, dan kegiatan Usaha yang telah sesuai dengan KBLI ter-update (2020).

Kedua, riwayat struktur permodalan dan susunan pemegang saham terkait penyetoran modal sesuai dengan ketentuan dalam UUPT, daftar Pemegang Saham dan Daftar Khusus, dan riwayat perubahan (3 tahun terakhir bila menggunakan POJK 7/2017, 2 tahun terakhir bila menggunakan POJK 53/2017).

Ketiga, susunan dan komposisi Direksi dan Dewan Komisaris. Internal perusahaan harus melakukan review terhadap tugas dan wewenang Direksi dan Dewan Komisaris, minimum dua orang anggota Direksi, dua anggota Dewan Komisaris dan 30% dari total Dewan Komisaris adalah Komisaris Independen.

Keempat, perizinan berusaha di mana review dilakukan terhadap perizinan berbasis risiko, pemenuhan komitmen dan berlaku efektifnya perizinan serta kesesuaian perizinan perseroan dengan kegiatan usaha perseroan dalam ketentuan Anggaran Dasar, dan kesesuaian alamat pada perizinan berusaha dan/atau izin-izin lainnya dengan alamat kegiatan usaha perseroan.

Kelima, perpajakan. Internal perusahaan harus melakukan review terkait pemenuhan kewajiban perpajakan. Keenam, review terhadapketenagakerjaan meliputi BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan termasuk pembayaran iuran, Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan (WLKP), peraturan Perusahaan dan/atau Perjanjian Kerja Bersama, dan pemenuhan ketentuan Upah Minimum.

Ketujuh, melakukan review terhadap harta kekayaan perseroan seperti keabsahan atas kepemilikan tanah, bangunan, kendaraan bermotor, Hak Kekayaan Intelektual, alat berat, dan mesin oleh Perseroan, dan asuransi atas harta kekayaan Perseroan.

Kedelapan, internal perusahaan juga harus melakukan review terkait perjanjian kredit seperti pembatasan (negative covenant), waiver atas perjanjian kredit, dan persetujuan dari kreditur.

Kesembilan, perjanjian dengan pihak ketiga yang bersifat material. Adapun hal-hal yang harus direview oleh internal perusahaan adalah perjanjian yang bersifat material dengan konsumen, supplier dan pihak ketiga lainnya, perjanjian dengan pihak afiliasi (termasuk namun tidak terbatas pada perjanjian hutang piutang) yang wajib dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kewajaran (arm’s length).

Dan kesepuluh adalah melakukan review terkait keterlibatan perkara, baik keterlibatan perkara Perseroan dan para anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan.

Di sisi lain, IPO juga memiliki konsekuensi seperti diisyaratkan akuntabilitas dan keterbukaan khususnya kepada publik, dan Pemenuhan GCG (Good Corporate Governance) sebagai perusahaan publik.

“Konsekuensi dari IPO juga kewajiban pemenuhan peraturan-peraturan OJK dan BEI, dan potensi sanksi jika tidak dipenuhi kewajiban misalkan, antara lain: mengenai Transaksi Material, Transaksi Benturan Kepentingan dan Afiliasi, Keterbukaan Informasi Material, dan lain-lain,” kata Hendrik.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *