4 Catatan Komnas Perempuan Atas RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat

PIJAR-JAKARTA – Dalam rangka memperingati hari masyarakat hukum adat internasional 9 Agustus 2022, Komnas Perempuan mengingatkan pentingnya mewujudkan agenda perlindungan terhadap perempuan adat. Salah satu cara yang bisa dilakukan melalui RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA). Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengapresiasi perempuan MHA yang teguh berjuang merawat bumi dan menjaga kehidupan nusantara.

Komnas Perempuan mencatat tanah, sawah/ladang, kerajinan tangan lokal, dan ritual adalah bagian dari identitas perempuan adat. Penyemaian bibit, pengolahan dan perawatan sawah/ladang hingga panen dan pengolahan konsumsi pasca panen menjadi bagian dari siklus hidup perempuan.

”Siklus kehidupan perempuan adat kuat melekat berelasi dengan perawatan alam, termasuk menjalankan spiritualitas dan budaya yang bertumpu pada tanah,” kata Andy ketika dikonfirmasi, Senin (15/8/2022).

Periode 2020-2022, Komnas Perempuan menerima 13 pengaduan tentang kondisi perempuan adat dalam konflik SDA di berbagai wilayah. Dari laporan itu dan pemantauan Komnas Perempuan mengidentifikasi kerentanan perempuan adat pada kekerasan dan diskriminasi berbasis gender, lenyapnya lingkungan yang aman dan sehat.

Perempuan adat juga menghadapi polusi udara dan rusaknya tanah, sumber-sumber pertanian dan perkebunan, sehingga kesulitan air bersih, kehilangan sumber penghidupan, berkurang istirahat berkualitas, terpapar penyakit seperti ispa, kulit gatal-gatal, depresi, dan lainnya.

Kondisi ini menguatkan temuan inquiri nasional oleh Komnas HAM dan Komnas Perempuan tahun 2016 berdasarkan pendalaman 40 kasus yang tersebar di 7 wilayah di Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, Jawa, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua.

Dalam inquiri itu ditemukan sejumlah pola kekerasan dan pelanggaran HAM yang terus berulang terhadap perempuan adat. Misalnya, perampasan wilayah adat yang berkaitan erat dengan siklus kehidupan dan spiritualitas perempuan adat. Kasusnya ditemukan dalam bentuk ketiadaan pengakuan atas hutan adat akibat pengaburan tapal batas atau perubahan fungsi hutan adat menjadi taman nasional, cagar alam, konsesi hak perambahan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), areal penggunaan lain (APL), atau wilayah pertambangan.

Para perempuan pembela HAM yang berjuang untuk MHA juga rentan mengalami kriminalisasi. Periode 2005-2022, Komnas Perempuan mencatat lebih dari 50 kasus dimana mereka menghadapi ancaman pidana sampai pembunuhan.

Andy mengingatkan hak-hak perempuan sebagaimana diamanatkan konstitusi dan instrumen HAM internasional mencakup aspek hidup yang luas. Hak-hak dasar antara lain hak atas air bersih dan sanitasi (pasal 28A UUD NKRI Tahun 1945), lingkungan yang baik dan sehat (pasal 28H ayat (1) UUD NKRI Tahun 1945). Hak berekspresi secara damai dan tanpa kekerasan serta atas informasi (pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD NKRI Tahun 1945; Kovenan Sipil Politik Pasal 19 ayat (2)).

Oleh karena itu Andy mendesak pemerintah dan DPR untuk segera menyusun agenda perlindungan perempuan masyarakat adat melalui RUU MHA. Komnas Perempuan merekomendasikan sedikitnya 4 hal. Pertama, pengakuan terhadap MHA adalah mandat konstitusi. Sehingga hadirnya UU khusus akan memastikan jaminan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Juga, sebagai momentum untuk penataan hubungan negara dan masyarakat adat dalam bingkai masa depan yang berpegang pada prinsip keadilan. Termasuk di dalamnya keadilan gender, menjunjung tinggi demokrasi dan HAM, perlakuan tanpa diskriminasi dan berpihak kepada lingkungan hidup guna memastikan jaminan keadilan antar generasi.

Kedua, UU MHA diharapkan dapat mengatasi masalah sektoralisme di berbagai lembaga negara yang berhubungan dengan masyarakat adat, termasuk masalah perizinan dan konflik lahan adat. Ketiga, UU khusus masyarakat adat sebagai bentuk regulasi afirmatif untuk memastikan masyarakat adat sebagai subjek hukum dapat diakui oleh negara secara mudah dan cepat agar hak-hak lain terkait dapat dipenuhi oleh negara.

Keempat, UU MHA diharapkan dapat menjadi payung hukum untuk memberikan jaminan pengakuan dan perlindungan bagi hak-hak perempuan adat secara utuh. Baik sebagai individu maupun kolektif yang menjadi kekhasan atau kekhususan yang melekat pada identitas perempuan adat.

Menurut Andy, pengaturan spesifik hak perempuan adat dalam UU MHA berfungsi untuk menegaskan pengakuan pada peran dan andil perempuan adat sebagai pemilik kekayaan pengetahuan tradisi dan spiritualisme yang dapat menjadi salah satu modalitas sosial, ekonomi dan budaya bangsa. Sekaligus menguatkan proses transformasi masyarakat patriarkis dalam memastikan penyelesaian adat untuk menghadirkan keadilan dan pemulihan perempuan korban kekerasan.

Tak ketinggalan, Andy menegaskan pembahasan RUU MHA perlu melibatkan secara aktif masyarakat sipil. Khususnya mendengarkan dan menerima masukan perempuan masyarakat adat dan perempuan pembela HAM yang berjuang di isu masyarakat adat.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *