PIJAR-JAKARTA – Financial technology dalam rangka keuangan inklusif yang dibarengi dengan upaya edukasi keuangan dan perlindungan konsumen, merupakan hal yang sangat krusial dan strategis. Hal ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan inklusi keuangan sebesar 90% pada tahun 2024.
Indonesia memiliki sederet potensi untuk menjadi lokomotif pengembangan industri digital. Sebagaimana kita ketahui, Indonesia adalah Negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia, dimana 191 juta atau 71% diantaranya merupakan penduduk usia produktif. Dari sisi digital user, jumlah pengguna ponsel Indonesia saat ini mencapai 370 juta dengan penetrasi internet sebesar 74% dan rata-rata penggunaan internet mencapai lebih dari 8 jam setiap hari.
Sementara itu, nilai perdagangan digital sudah mencapai Rp401 triliun Pada tahun 2021, dan diproyeksikan naik menjadi Rp4.531 triliun yang memberikan kontribusi sebesar 18% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2030.
Perkembangan digitalisasi juga mendorong lembaga keuangan untuk terus beradaptasi, menghadirkan layanan keuangan digital yang lebih efisien, tetap aman, cepat, serta mengedepankan faktor kesehatan di tengah situasi pandemi saat ini. Teknologi informasi telah mendorong maraknya inovasi keuangan digital, yang pada akhirnya mendorong tingkat inklusi keuangan nasional.
“Kami juga ingin berpesan terhadap ketika memilih perusahaan fintech peer-to-peer lending atau investasi pada uang digital. Perlu dicatat, bahwa segala aktifitas keuangan kita, baik pinjaman atau investasi, harus dilakukan pada lembaga jasa keuangan yang telah memiliki izin resmi dari lembaga yang berwenang atau legal. Pastikan dengan seksama, apakah perusahaan tersebut telah berizin, dan apakah perusahaan tersebut melakukan kegiatan sesuai dengan izin yang telah diberikan,” papar Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi.
Kemudian, dia juga mengimbau agar masyarakat saat ingin berinvestasi, jangan mudah terbuai dengan janji keuntungan tinggi. Investasi kita harus logis, artinya perusahaan investasi menjanjikan tingkat imbal hasil yang wajar dan logis.
Upaya peningkatan literasi keuangan dan perlindungan konsumen terhadap produk digital, diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dan masyarakat dalam menggunakan produk dan layanan keuangan.
Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyebut pengaduan konsumen didominasi dari sektor jasa keuangan yang mencapai 49,6 persen dari total pengaduan yang masuk.
“Masih sangat tinggi sekali pengaduan jasa keuangan, maka perlu adanya suatu literasi,” ujar Ketua Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Sularsi dalam webinar bertajuk Penguatan Literasi Keuangan Digital dan Problematika Yang Dihadapi oleh goodmoneyID di Jakarta, Jumat (5/8).
Sularsi mengatakan pengaduan jasa keuangan ini meliputi pinjaman online (pinjol) sebesar 22,4 persen, belanja online sebesar 16,6 persen, perbankan sebesar 15,9 persen, leasing sebesar 6,0 persen, uang elektronik sebesar 3,2 persen dan asuransi sebesar 1,5 persen.
Ia mengatakan banyaknya pengaduan dalam ranah pinjol disebabkan lebih banyaknya jumlah pinjol ilegal dibandingkan pinjol legal yang transaksinya tidak terpantau oleh pihak yang berwenang. Tercatat hanya ada 149 platform pinjol yang terdaftar atau berizin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan sisanya sebanyak 3.193 adalah pinjol ilegal.
Sedangkan, menurutnya pengaduan ranah perbankan kebanyakan terkait restrukturisasi pinjaman, cara penagihan, pembobolan, administrasi, keringanan pembayaran hingga penipuan. “Banyak ditawarin pinjaman, konsumen tidak mampu akhirnya menjadi suatu debt, itu yang sering diadukan” ujar Sularsi.
Selain itu, Sulastri menyebut meningkatnya pengaduan konsumen dari jasa keuangan seiring dengan meningkatnya transaksi keuangan digital di tanah air. Dengan itu, menurutnya, seiring meningkatnya inklusi keuangan digital perlu dibarengi meningkatnya perlindungan data pribadi nasabah.
Sulastri menjelaskan dalam lima tahun terakhir pengaduan terkait jasa keuangan selalu menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan pengaduan sektor lain. Tercatat, pada 2017 pengaduan jasa keuangan mencapai 21,0 persen dan pada 2018 mencapai 50,0 persen, lalu, pada 2019 mencapai 46,8 persen dan pada 2020 mencapai 33,5 persen.
“Bahwa jasa keuangan ini selalu mendominasi untuk pengaduan,” ujar Sularsi.
Selain jasa keuangan yang sebesar itu, pengaduan konsumen juga meliputi dari sektor e-commerce sebesar 17,2 persen, telekomunikasi sebesar 11,4 persen, perumahan sebesar 4,9 persen dan listrik 1,7 persen.