PIJAR-JAKARTA – Pelaksanaan rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang sudah dimulai dengan pendaftaran partai politik. Namun ada hal menarik yang menjadi kontra bagi kalangan akademisi yakni soal gagasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mengizinkan setiap kandidat calon peserta dalam Pemilu 2024 berkampanye di lingkungan perguruan tinggi atau Universitas. Sontak sikap penolakan terhadap kebijakan KPU pun datang dari kalangan civitas perguruan tinggi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Abdul Halim secara tegas menolak langkah KPU tersebut. Menurutnya, gagasan kampanye Pemilu 2024 di lingkungan perguruan tinggi bertentangan dengan independensi perguruan tinggi. Terlebih, kampus merupakan ekosistem yang independen dari kepentingan politik manapun.
Di lain sisi, kampanye pemilu di lingkungan perguruan tinggi berpotensi menimbulkan friksi antar akademisi. Dia berpandangan kampanye di lingkunngan perguruan tinggi malah melahirkan friksi yang berpotensi tajam di internal perguruan tinggi. Ujungnya, malah terjadi keterbelahan antar civitas akademik.
“Saya tidak setuju dengan gagasan kampanye di kampus. Karena kampanye di kampus justru berpotensi membuat friksi-friksi di civitas akademika,” ujar Abdul Halim Senin (8/8/2022).
Bagi Halim, mahasiswa dan warga kampus mesti mengerti dan melek politik. Namun, tidak berarti mahasiswa dan warga kampus malah tarik-menarik dengan melibatkan diri dalam pertarungan politik praktis, seperti kampanye pemilu di lingkungan kampus. Padahal kampanye di luar lingkungan kampus pun aspirasi dan hak-hak politiknya dapat tersalurkan dengan baik.
Dia menyebutkan dalam praktik pengangkatan jabatan jabatan struktural di internal kampus telah melahirkan friksi-friksi di perguruan tinggi. Apalagi bila kampanye pemilu digelar di lingkungan perguruan tinggi berpotensi tajam terjadinya perbedaan pandangan politik yang berujung keterbelahan antar civitas akademik. “Saya tidak bisa membayangkan kegaduhan bakal terjadi di tiap-tiap kampus,” cetusnya.
Lebih lanjut Halim menilai sebagian perguruan tinggi masih terdapat para akademisi yang berpikir sempit atau minim kedewasaan dalam menyikapi perbedaan-perbedaan pandangan. Alhasil, terjadi diskriminasi terhadap orang yang berbeda dengan sikap serta pandangan pemikirannya. Padahal membutuhkan waktu dalam menumbuhkan demokratisasi di lingkungan kampus.
“Ada kesan kampus itu lebih otoriter dari pimpinan suatu partai dan lebih birokratis dari orang birokrat itu sendiri,” ujarnya.
Pria yang menjadi salah satu calon dalam memperebutkan kursi rektor UPN Veteran Jakarta periode 2022-2026 itu berpendapat, kampanye pemilu di lingkungan perguruan tinggi menjadi pintu masuk terjadi politisasi ruang akademik. Alih-alih melahirkan sikap kritis dan independensi civitas akademik, malah dikhawatirkan sebaliknya larut dalam gerakan politik mengejar jabatan politis.
Menurunya, ketika pasangan Calon Presiden (Capres)- Calon Wakil Presiden (Cawapres) atau partai politik berkampanye di kampus, bisnis utama perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka, berubah menjadi ruang kontestasi perebutan jabatan politis. Situasi tersebut malah tak menyehatkan perguruan tinggi sebagai institusi pendidikan.
Untuk diketahui, gagasan kampanye di lingkungan perguruan tinggi mengacu Pasal 280 ayat (1) huruf h UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan, “Pelaksana, peserta, dan tim Kampanye Pemilu dilarang:…h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;..”. Oleh pimpinan KPU, norma Pasal 280 ayat (1) huruf h diinterpretasikan larangan tersebut terkait dengan pemanfaatan fasilitas, bukan soal kampanye. Dengan begitu, kampanye di kampus diperkenankan dengan catatan atas undangan pihak kampus dan diperlakukan adil ke seluruh peserta pemilu.
Bagi Halim, para politisi dan partai politik tidak berarti dilarang menyampaikan ide dan kebijakan politik untuk diekspos di lingkungan kampus. Namun dalam koridor bukan kegiatan kampanye partai politik, tetapi untuk pembekalan pengetahuan dan pengalaman mahasiswa di bidang perkembangan politik nasional dan arah pembangunan bangsa dan negara.
“Bahkan jika diperlukan kita sediakan forum debat politik di kampus sebagai bagian dari kegiatan akademik, bukan kegiatan kampanye partai politik,” tegasnya.
Sementara Peneliti Kode Inisiatif, Ihsan Maulana berpendapat perlunya merevisi 7/2017 yang mengatr kampanye politik di lingkungan kampus agar menghindari multitafsir serta mencegah terjadinya sengketa dan pelanggaran. Khususnya pengaturan Pasal 280 ayat (1) huruf h mesti diubah dengan menghapus frasa “tempat ibadah dan Pendidikan”. “Itu baru membuka ruang (kampanye di kampus, red),” ujarnya.
Namun begitu, kampanye di kampus tetap sulit digelar pada Pemilu 2024. Sebab, revisi UU 7/2017 sukar dilaksanakan saat tahapan pemilu sudah mulai berjalan dengan pendaftaran partai politik peserta pemilu. Sekalipun KPU bersikukuh menerapkan kampanye politik di lingkungan kampus, penyelenggara pemilu mesti memiliki konsep yang jelas dan terukur dalam mengatur kampanye tersebut dengan dituangkan dalam Peraturan KPU (PKPU).
“Tapi, tantangannya adalah bisa atau sangat mudah ‘digoyang’ karena Pasal 280 UU Pemuilu bisa diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Apalagi, kalau PKPU membolehkan; tapi perspektif Bawaslu berbeda, itu bisa jadi menjadi temuan pelanggaran,” katanya.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy’ari berpendapat peserta pemilu maupun Capres dan Cawapres diperbolehkan berkampanye di lingkungan kampus dengan beberapa syarat yang mesti dipenuhi. Menurutnya, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 menyebutkan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan dapat digunakan untuk kampanye jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan pihak penanggung jawab.
“Jadi kampanye di kampus itu boleh dengan catatan yang mengundang misalkan rektor, pimpinan lembaganya, boleh (kampanye, red),” ujarnya sebagaimana dilansir Antara.
Syarat lainnya, setiap peserta pemilu mesti diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama bila berkampanye di lingkungan kampus. Kesempatan kampanye mesti diberikan sama mulai jadwal, durasi, hingga frekuensi kampanye yang dilakukan peserta pemilu. Dengan kata lain sesuai perundangan, kampanye di kampus diperbolehkan sepanjang terpenuhi syarat-syaratnya.
“Kalau saya menyatakan kampanye di kampus boleh apa nggak? Boleh, wong mahasiswanya pemilih, dosen-dosennya juga pemilih, ingin tahu dong siapa Capresnya, siapa calon DPR-nya, visi-misinya seperti apa, apa janji-janjinya, visi-misinya untuk pengembangan dunia akademik kan perlu diketahui dan perlu di-‘challenge, dan perlu dipertanyakan pula,” dalihnya.