PIJAR | JAKARTA – Adanya pandemi yang terus terjadi hingga hari ini, terbukti memberikan dampak buruk terhadap pelaku usaha, tak terkecuali sektor koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut data Satuan Tugas (Satgas) Koperasi Bermasalah pada tahun 2020 dan 2021 ada sebanyak 38 koperasi (simpan pinjam) diajukan permohonan pailit dan PKPU ke Pengadilan Niaga. Rinciannya, 20 kasus di Jakarta; 7 kasus di Surabaya; 10 kasus di Semarang; 1 kasus di Medan.
“Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, karena tidak pernah terjadi sebelumnya pengajuan permohonan pailit melebihi 22 pengajuan permohonan terhadap koperasi. Kebanyakan permohonan itu diajukan oleh anggota koperasi itu sendiri,” ujar Wakil Ketua Satgas Koperasi Bermasalah, Yudhi Wibhisana dalam sebuah diskusi daring, Jum’at (21/1/2022) lalu,
Meski tidak ada aturan yang memperbolehkan atau melarang anggota koperasi mengajukan permohonan kepailitan, anggota koperasi seharusnya mengedepankan rasa memiliki terhadap koperasi mereka masing-masing. Namun, banyak anggota koperasi yang seolah merasa seperti nasabah yang mempunyai rekening simpanan di bank.
“Menjadi anggota koperasi hanya fokus menyimpan dan memperoleh bunga. Padahal jiwa dari koperasi itu sendiri adalah (didasari prinsip, red) kekeluargaan. Ini perlu pengaturan serius mengenai koperasi agar tidak mudah dimohonkan pailit oleh anggotanya,” harapnya.
Sesuai UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengatur tentang penyelesaian hukum antara kreditur dengan debitur dalam hal jika terjadi sengketa, khususnya mengenai kewajiban utang piutang. “UU tersebut menyasar seluruh subjek hukum dari perseorangan, badan hukum (korporasi) ataupun bukan badan hukum termasuk di dalamnya badan hukum koperasi,” katanya.
Staf Biro Hukum Kementerian Koperasi dan UKM, Rasyid menilai dari sudut pandang UU Kepailitan dan PKPU pengaturan koperasi sudah sesuai dengan ketentuan. Namun jika dilihat dari sudut pandang UU Perkoperasian hal itu akan menjadi rancu. “Sesuai Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004 disebutkan debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dinyatakan pailit,” terang Rasyid,
Menurutnya, hal tersebut sulit ditetapkan dalam entitas badan hukum koperasi dimana satu atau dua anggota selaku kreditur dapat meminta permohonan pailit pada koperasi yang notabene adalah anggota koperasi sendiri sebagai pemiliknya. Dalam kurun waktu 2020-2021, ada 38 koperasi yang dimohonkan pailit, mayoritas permohonan kepailitan diajukan oleh anggota koperasinya.
“Ini berkaitan dengan kepemilikan koperasi oleh anggota yang memiliki persamaan hak dan kewajiban, dimana sangat tidak mungkin bagi seorang atau dua orang anggota dapat mempailitkan koperasinya sendiri,” sesalnya.
Sejalan dengan ini, saat ini revisi UU No.37 Tahun 2004 masuk dalam Prolegnas jangka panjang tahun 2020-2024. Rasyid melanjutkan setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilandaskan sikap transparan dan terbuka. Seluruh masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan, tak terkecuali persoalan RUU Kepailtan dan PKPU di sektor badan usaha koperasi.
Hal itu sesuai yang diamanatkan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.15 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No.11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Konsultasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sementara itu, Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Cahyani Suryandari meminta agar RUU Kepailitan dan PKPU ini segera dibahas lebih lanjut karena memiliki sejumlah persoalan krusial, terutama mengenai syarat kepailitan dan subjek yang berhak mengajukan proses kepailitan dan PKPU.
Selain itu, proses permohonan kepailitan yang diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Menteri Keuangan; proses/hukum acara permohonan pailit dan PKPU; hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Termasuk pengaturan profesi kurator terkait pelaksanaan tugas hingga pengawasan dan kelembagaanya.
Dia mengakui koperasi menjadi sektor yang mudah dipailitkan karena koperasi memiliki titik lemah yakni unsur pengurus koperasi bisa sebagai kreditur yang berhak mengajukan permohonan pailit. “Agar anggota koperasi tidak mudah mempailitkan koperasinya sendiri, apabila terjadi gagal bayar terhadap anggotanya seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Sebaiknya kepailitan dan PKPU (dalam koperasi, red) menjadi jalan terakhir yang harus ditempuh,” usulnya.