Berikut Ini Cara Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami

Doc: hukumonline.com

Seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang masing-masing harta bersamanya terpisah dan berdiri sendiri. Begitu pula pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang dihitung sejak saat berlangsungnya akad perkawinan kedua, ketiga, dan keempat. Hal sebagaimana disebutkan dalam Pasal 94 Instruksi Presiden Republik Indonesia No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilas Hukum Islam (KHI).

“Penggunaan harta bersama harus persetujuan kedua belah pihak,” ujar Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung, Amran Suadi dalam diskusi bertajuk “Pembagian Harta Bersama dalam Perkawinan Poligami Menurut Sistem Hukum Indonesia” yang digelar Fakultas Hukum Universitas Andalas secara virtual dikuti dari hukumonline.com, Jum’at (24/9/2021).

Dia menerangkan harta bersama dalam sebuah perkawinan telah diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama perkawinan hingga perkawinan berakhir karena karena perceraian, kematian, atau putusan pengadilan. Sedangkan harta bawaan yang diperoleh masing-masing suami atau istri dari hadiah atau warisan sebelum perkawinan sebagaimana diatur Pasal 35 ayat (2) UU 1/1974.

Hal ini sejalan dengan hukum Islam bahwa harta suami dan isteri terpisah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat (32) yang menyebutkan, “(Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Menurutnya, Al-Qur’an tidak mengatur konsep harta bersama antara suami dan istri. Tapi, dalam fikih klasik dimungkinkan adanya syirkah atas harta kekayaan suami dan istri yakni penyatuan/penggabungan harta kekayaan seseorang dengan harta orang lain yang dikenal dalam kitab dagang. Karena itu, dalam fiqih klasik tidak mengenal istilah harta gono-gini. “Tetapi saya katakan, ini (harta gono-gini, red) adalah fiqih yang berlandaskan pada kehidupan kebangsaan kita,” ujarnya.

Dalam penggabungan harta dimungkinkan dengan perjanjian tertulis sebelum dan/atau sesudah pernikahan berlangsung. “Dalam perjanjian boleh saja mengatur tidak adanya percampuran harta suami dan istri, atau adanya harta milik masing-masing (harta bawaan, red). Selanjutnya suami dan istri bertanggung jawab menjaga harta bersama.”

Amran melanjutkan dalam praktik di peradilan agama, kerap kali muncul perkara pembagian harta gono-gini akibat gugatan perceraian. Muncul pula permintaan pembagian harta bersama dari pernikahan yang tidak sah secara negara alias nikah siri akibat pernikahan poligami. Harta bersama memang menjadi salah satu ciri khas dalam perkawinan di Indonesia. Bila perkawinan putus karena perceratan, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing sebagaimana dalam Pasal 37 UU Perkawinan.

“Saya bilang Anda nikah saja di Arab sana. Saudara tahu, di Arab itu begitu nikah, istri itu sudah dapat harta. Saya katakan di Indonesia suami istri bisa bekerja. Di Arab mana boleh (istri, red) dikasih bekerja,” ujarnya.

Tekankan prinsip keadilan

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Prof Yaswirman berpendapat dalam UU Perkawinan sebenarnya tidak mengenal istilah poligami. Namun hanya mengenal/menyebut beristri lebih dari satu orang. Sedangkan beristri lebih dari satu orang diatur dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU Perkawinan, serta Pasal 55-59 KHI. “Poligami adalah alternatif, bukan pilihan. Karenanya wajar UU Perkawinan menentukan syarat tertentu bagi suami yang ingin beristri lebih dari satu,” kata Prof Yaswirman.

Dia menegaskan UU 1/1974 hanya mengatur tentang beristeri lebih dari satu orang. Tapi, tidak mengatur tentang kedudukan harta mereka setelah putusnya perkawinan. Pengakuan harta bersama dalam Islam dilihat dari kemasalahatan, sehingga diterima konsep harta bersama dalam hukum perdata dan gono-gini dalam hukum adat. Hanya saja, Pasal 37 UU 1/1974 mengatur bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing. “Hukum masing-masing dimaksud bisa dari aspek hukum agama atau hukum adat,” ujarnya.   

Dia mengutip Pasal 94 ayat (1) KHI yang menyebutkan, “Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”. Ayat (2)-nya menyebutkan, “Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau keempat”.

“Dalam perkawinan poligami, harta bersama terpisah dan berdiri sendiri, tidak ada penggabungan atau campur aduk antara masing-masing harta bersama,” ujarnya menegaskan.

Menurutnya, asas tersebut sejalan/sesuai bunyi Pasal 65 ayat (1) huruf b UU Perkawinan yang menyebutkan, “Istri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan istri kedua dan berikutnya itu terjadi”. Dalam KHI tidak merinci bagaimana teknis pembagian harta bersama dari perkawinan poligami selain hanya dihitung sejak saat perkawinan berlangsung.

Prof Yaswirman menekankan agar hakim pengadilan agama selalu mempertimbangkan prinsip keadilan masing-masing dalam hal pembagian harta bawaan dalam perkawinan poligami. Misalnya, memisahkan terlebih dahulu harta yang didapat dari perkawinan dengan istri pertama. Kemudian, memisahkan lagi mana saja harta yang diperoleh dari perkawinan dengan isteri kedua, dan seterusnya. Biasanya bila terjadi penikahan secara poligami ada izin dari pengadilan agama, maka harta bersama dengan isteri pertama sudah ditetapkan untuk mempermudah penyelesaian pembagian.

“Hakim memutuskan dengan pertimbangan tertentu. Boleh jadi komposisi pembagiannya 50-50 atau 60-40. Bila isteri dominan mencari nafkah, maka bagian isteri lebih besar daripada bagian suami, demikian pula sebaliknya. Cara lain yang dapat dilakukan dengan membuat perjanjian perkawinan sebelum, pada saat, atau selama perkawinann berlangsung.” 

Meski perjanjian perkawinan belum lazim dilakukan kebanyakan masyarakat Indonesia, namun sebagian masyarakat tertentu melakukan hal tersebut. Khususnya mereka yang memiliki harta banyak sebelum perkawinan atau berpeluang memperoleh harta perorangan saat perkawinan melakukan. “Harta yang sudah dipisah tidak lagi dipersoalkan jika terjadi perceraian, termasuk perceraian dari perkawinan poligami, seperti harta bawaan, warisan, atau pemberian lainnya secara perorangan,” katanya.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *