PIJAR | JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Indonesia Corruption Watch (ICW) sedang berseberangan. Soal data pada awalnya. Jadi, saling mengajukan data saja untuk penilaian yang objektif oleh masyarakat umum.
ICW memulainya dengan membuka data jumlah kasus yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2020 lalu merosot hingga titik terendah sejak tahun 2015. Sedangkan KPK menegaskan, data itu hanya dari publikasi KPK bidang penindakan pada semester pertama 2020 di Juni 2020 lalu, bukan data menyeluruh sepanjang tahun.
“Kami menyayangkan data yang dipakai ICW untuk menarik kesimpulan dan telah dipublikasikan tersebut,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Senin, 19/4/21. Menurut dia, KPK memiliki target penanganan perkara sebanyak 120 kasus sebagaimana yang telah disampaikan pada laporan tahunan 2020 pada 30 Desember 2020 lalu.
Dari jumlah target tersebut, lanjut Ali, telah terealisasi sebanyak 111 penyelidikan, 91 penyidikan dengan jumlah tersangka 109 orang, 75 penuntutan, 92 perkara yang berkekuatan hukum tetap, dan 108 perkara telah dilakukan eksekusi.
Oleh sebab itu, Ali menegaskan, jumlah perkara baru yang ditangani KPK pada 2020 sebanyak 91 perkara. Jumlah itu belum termasuk sisa perkara yang sedang berjalan dan ditangani KPK sebelum 2020 sebanyak 117. “Dengan demikian di tahun 2020 jumlah total perkara yang ditangani KPK sebanyak 208 perkara,” kata Ali.
Ia menambahkan, pada tahun 2020, KPK dihadapkan tantangan dalam menjalankan fungsi penindakan dengan adanya pandemi COVID-19. Kebijakan adanya pembatasan sosial berskala besar oleh pemerintah, imbuh Ali, mengharuskan KPK untuk membatasi para pegawai dalam melaksanakan tugas.
“Kebijakan ini sebagai salah satu upaya perlindungan terhadap insan KPK dari penyebaran wabah COVID-19,” tandasnya.
Sebelumnya, ICW mengemukakan, kinerja KPK sepanjang 2020 mencapai titik terendah. “Terhitung sejak 2015 ketika KPK menyidik kasus korupsi,” kata Peneliti ICW, Wana Alamsyah saat membacakan laporan yang disiarkan secara live melalui kanal YouTube Sahabat ICW, Minggu, 18/4/21.
Menurut Wana, secara kuantitas, persentase penindakan kasus KPK pada 2020 hanya 13 persen atau 15 kasus dari target 120 kasus. Berdasarkan persentase ini, ICW menilai kinerja KPK pada 2020 sangat buruk lantaran berada di bawah 20 persen.
“Kami menilai kinerja KPK dalam kinerja 2020 masuk dalam kategori E atau sangat buruk karena tidak dapat mencapai angka yang lebih signifikan,” ungkap Wana.
Dalam laporan ini ICW hanya mengklasifikasikan kasus yang masuk tahap penyidikan dan telah ada penetapan tersangka. Jumlah kasus yang memenuhi klasifikasi itu kemudian dibagi dengan target kasus per tahun lantas dikalikan 100.
Pelbagai kasus tersebut dihimpun dari situs lembaga penegak hukum dan pemberitaan media massa. Sementara secara kualitas, ICW menghimpun, sebagian besar kasus korupsi yang ditindak KPK merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) berjumlah 7 kasus, pengembangan kasus dari tahun sebelumnya 7 kasus, dan hanya 1 kasus baru pada 2020.
Selain itu, ICW menilai KPK bertindak lambat dalam proses pengembangan kasus strategis untuk membongkar aktor korupsi. Hal tersebut, menurut Wana terlihat dalam penanganan perkara dugaan korupsi Bantuan Sosial Covid-19 yang melibatkan mantan Menteri Sosial Juliari Peter Bara dan dugaan korupsi ekspor Benur Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo.
“Ada beberapa informasi mengenai pemanggilan saksi yang tidak dilakukan dan lain-lain. Kami menilai terjadi perlambatan dalam pengembangan kasus yang strategis,” tutur Wana.
Mengenai profesionalisme, ICW mendapati data dari situs KPK terdapat 115 dari 149 kasus yang disidik merupakan kasus perkara sisa tahun 2019 atau carry over, sementara 34 kasus lainnya disidik tahun 2020. Dari jumlah tersebut, lembaga ini mencatat hanya 15 kasus yang disidik dan telah ada penetapan tersangka terhadap 75 orang.
ICW juga mencurigai kasus penyidikan terhadap kasus carry over (lungsuran), selain dilanjutkan hingga tahap persidangan juga untuk diterbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). “Dari salah satu kasus yang di-carry over merupakan kasus yang baru kemarin di SP3 oleh KPK yakni, BLBI. Kami mengkhawatirkan dan kami menduga ada potensi serupa,” kata Wana.
Tak hanya itu, ICW mencatat terjadi dugaan kebocoran surat perintah dalam beberapa kasus yang ditangani KPK. Hal ini menjadi celah bagi pelaku korupsi untuk melarikan diri atau menyembunyikan barang bukti.
Menurut ICW, kebocoran surat perintah berpotensi terjadi di tingkat petugas KPK hingga Dewan Pengawas. Lebih jauh, Wana menyayangkan persoalan tersebut justru tidak ditindaklanjuti secara serius oleh KPK. Karena itu pula ICW khawatir hal serupa bakal kembali terulang pada 2021.
“Tahun 2020 kami mencatat kebocoran surat perintah terjadi dalam kasus Wahyu Setiawan, KPU yang melibatkan Harun Masiku yang sampai saat ini DPO,” tuturnya.
Kondisi ini membuat KPK mendapatkan nilai E atau kategori sangat buruk dalam penindakan kasus korupsi. Penilaian itu diberikan secara kumulatif untuk kinerja lembaga penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan dan KPK.
Data kuantitatif dan kualitatif sudah terbentang. Mungkinkah ada yang memiliki versi lain? Silakan beri penilaian. (Reza M Irfan)