PIJAR | JAKARTA – Sidang lanjutan perkara tanah boncos dengan terdakwa Hasyim dan Harun berlangsung dengan menghadirkan saksi ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Septa Candra SH MH. Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Klas 1 A Kota Tangerang pada Selasa, 6/10/20 itu, saksi ahli menjelaskan, dakwaan pencurian tanah oleh terdakwa perlu memastikan pula siapa pemilik yang dirugikan sesungguhnya.
“Orang yang dirugikan adalah orang yang pemilik dari barang sesuatu itu. Kontraktor tugasnya mengerjakan jalan tol itu, maka dia bukan pemilik tanah,” ungkap Septa di depan Majelis Hakim.
Sedangkan kontraktor yang ditetapkan sebagai penggarap lahan tidak menandakan tanah tersebut merupakan milik kontraktor. “Orang yang dirugikan adalah orang yang pemilik dari barang sesuatu itu. Kontraktor tugasnya mengerjakan jalan tol itu, maka dia bukan pemilik tanah,” ungkap Septa.
Kesaksian ahli hukum pidana ini terkait dengan dakwaan terhadap Hasyim dan Harun yang menjeratnya lantaran memanfaatkan boncos di proyek milik BUMN PT Wijaya Karya (Wika) yakni jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran (ruas Jakarta Barat-Banten). Perusahaan plat merah itu mengaku mengalami kerugian senilai Rp7.188.165.
Dalam dakwaan, lanjut Septa, juga dijelaskan perbuatan dilakukan dengan dua orang atau lebih dengan bersekutu sesuai pasal 363 ayat 1 ke 4 KUHP. Perbuatan bersekutu itu pun harus dibuktikan. Menurut dia, bersekutu ialah perbuatan yang dilakukan bersama-sama sehingga peran antar individu dalam melakukan aksi sulit dibedakan.
Namun, dalam BAP diketahui Hasyim dan Harun tidak berada di lokasi kejadian. “Kalau itu (bersekutu) tidak bisa dibuktikan berarti dengan cara bersekutu itu tidak bisa terbukti dan tidak bisa dipenuhi,” jelasnya.
Secara pribadi, Septa mengaku janggal terhadap kasus ini. Pasalnya, tidak ada pencegahan dari petugas WIKA jika pengambilan tanah boncos itu dilarang. Mengingat memerlukan waktu lama dalam pengambilan tanah.
“Pembiaran dalam tindak pidana itu juga bisa dipidana,” tegasnya.
Sementara itu, Pengacara Publik dari LBH Pijar Burhan.S.H berharap keterangan saksi ahli tersebut dapat menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan putusan. Selama persidangan, sambungnya, para saksi menjelaskan bahwa tanah yang diambil merupakan tanah boncos bukan tanah urugan.
“Ada lima saksi yang dihadirkan, empat saksi mengatakan tanah (yang diambil) tanah boncos, itu tanah baru bermanfaat kalau ada yang membutuhkan berbeda dengan tanah urugan,” katanya.
Selain itu, dalam persidangan sebelumnya para saksi dari WIKA menyebut terdapat ancaman yang dilakukan terdakwa. Namun, saksi tersebut juga tidak bisa menyebutkan bentuk ancaman tersebut. “Saya tanya bentuk ancamannya apa mereka tidak tahu. Jadi pengancaman itu juga tidak terbukti di persidangan,” katanya.
Ketua Tim Advokat LBH Pijar Madsanih Manong menegaskan, perkara ini merupakan hal yang terkait dengan warga masyarakat yang berhadapan dengan negara. “Jadi, akan ikut menguji independensi pengadilan juga majelis hakim mengenai praktik hukum di Indonesia. Terlebih pembangunan jalan tol dan infrastruktur lainnya akan berlanjut,” ujarnya
Menurut dia, kasus Hasyim dan Husen dapat terjadi di proyek infrastruktur lainnya. “Jadi, kita berharap pengadilan akan memutuskan dengan seadil-adilnya sehingga dapat menjadi contoh bagaimana negara berhadapan dengan warganya sendiri,” tandasnya. (Reza)