PIJAR | JAKARTA – Lembaga Bantuan Hukum Pijar mengadvokasi dua warga yang terjerat pidana karena memanfaatkan tanah lumpur galian (boncos) di proyek jalan tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran (ruas Jakarta Barat-Banten). Sebelumnya, upaya menyelesaikan masalah ini melalui mediasi dengan kontraktor BUMN PT Wijaya Karya (Wika) yang menangani proyek tol itu menemui jalan buntu.
“Kami sudah mendapat balasan surat yang ditandatangani Manajer Proyek Ali Afandi bahwa kontraktor tol PT Wika bersikeras menempuh jalur hukum. Ajakan musyawarah dan mufakat tak berbalas sehingga kami akan mengadvokasi di jalur litigasi atau pengadilan,” kata Ketua LBH Pijar, Madsanih Manong, di Jakarta, Rabu 12/8/20.
Menurut Madsanih, soal tanah boncos ini melibatkan Hasyim dan Harun, kakak-beradik, warga Kampung Tanah Tinggi, kawasan Jalan Benteng Betawi, Kota Tangerang, Banten. Keduanya kini sudah menjadi tahanan Kejaksaan Negeri Tangerang setelah berkas laporan pengaduan kontraktor Wika kepada Polres Metro Kota Tangerang dinyatakan lengkap (P-21).
Hasyim dan Harun, kata Madsanih, dijerat menggunakan pasal berlapis dengan tuduhan pencurian (Pasal 363 KUH Pidana) dan atau pemerasan dan pengancaman yang diatur Pasal 368 juncto 64 KUH Pidana. Sedangkan pengakuan Hasyim dan Harun, kata Madsanih, adalah memanfaatkan penjualan tanah boncos sebagian untuk sumbangan masjid di wilayah yang terdampak proyek tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran dan sebagian lagi habis untuk biaya operasional.
“Dari sisi hukum, bukti yang diajukan penyidik juga tampak janggal sehingga kami mengupayakan lebih dulu musyawarah dan mufakat. Namun, karena kontraktor tol tetap menginginkan masuk ke jalur hukum, kami siap mengadvokasi Hasyim dan Harun,” tukas Madsanih.
Dalam hal ini LBH Pijar telah menyiapkan tim advokat untuk mendampingi Hasyim dan Harun di persidangan. Selain Madsanih Manong yang akan menjadi ketua tim, advokat lainnya antara lain Lintar Fauzi, Daud Wilton Purba, Reza Muhamad Irfan, Pandu Rizki, Burhan, Syafii, Suhartawan Hutapea dan Isram.
Ia mengungkapkan, kasus ini adalah rangkaian dari berbagai masalah hukum yang berulang kali menghadapkan warga sekitar proyek tol Cengkareng-Batuceper-Kunciran. “Warga sekitar yang sesungguhnya rakyat biasa harus berhadapan dengan kontraktor yang sebenarnya perwakilan negara, terlebih karena statusnya sebagai BUMN. Ini seperti ironi dalam kehidupan berbangsa,” kata dia.
Madsanih mengungkapkan, banyak masalah yang menghadapkan warga sekitar proyek tol itu. “Mulai dari pembebasan lahan, gangguan lingkungan akibat tanah galian, masalah tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), hingga hal-hal kecil seperti Hasyim dan Harun itu. Semua dihadapi secara represif, padahal rakyat negara ini juga,” kata Madsanih.
Oleh sebab itulah, kata dia, LBH Pijar berkomitmen mengadvokasi perkara-perkara yang memaksa rakyat menghadapi represi hukum. “Padahal untuk kehidupan sehari-hari saja rakyat sudah kesulitan, jangankan menghadapi hukum yang memerlukan keahlian dan energi memadai,” tandasnya. (Reza)