PIJAR | JAKARTA – Korban bisnis investasi logam mulia dengan sistem piramida melaporkan kasusnya ke Badan Reserse Kriminal Polri. Melalui kuasa hukumnya Lintar Fauzi dari Kantor Hukum Madsanih Manong dan Rekan, korban Anggi Dwinta Noviana melaporkan Renny Permata Sari yang telah gagal memenuhi pesanan korban berupa 17,21 kg logam mulia Aneka Tambang (emas) dan mata uang asing senilai 171.100 dolar Amerika Serikat
“Sebelumnya korban telah menyampaikan teguran dan somasi kepada terlapor pada pertengahan Juni 2020. Namun, karena tidak ada penyelesaian, pada awal Juli korban melaporkan kasus ini sebagai tindak pidana ke Bareskrim Polri,” kata advokat Lintar Fauzi, Senin 6 Juli 2020. Menurut dia, laporan itu sudah terdaftar dengan nomor LP/B/0356/VII/2020/BARESKRIM tertanggal 2 Juli 2020.
Pelaporan itu , sambungnya, menyangkut tindak pidana penggelapan, perbuatan curang, sekaligus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Tindak pidana penggelapan dan penipuan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 372 dan 378. Sedangkan kasus TPPU diatur dalam Pasal-pasal di UU No 8 Tahun 2020 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
Lintar berharap Bareskrim segera menindaklanjuti pelaporan ini. “Seperti bisnisnya yang menggunakan skema piramida, kasus klien kami hanya gunung es yang terlihat di permukaan. Yang tak terlihat, akan lebih banyak korban akibat bisnis investasi emas dan mata uang asing dengan skema yang sama,” ungkapnya.
Dengan mengungkap kasus ini dan menindak pelakunya, kata Lintar, juga akan mencegah jatuhnya mangsa bisnis serupa yang menggunakan skema piramida atau skema Ponzi ini. “Kami mendukung upaya Polri dan yakin laporan ini akan ditangani secara profesional dan modern sehingga kepercayaan rakyat terhadap Polri akan terus meningkat,” ujarnya.
Mengenai substansi laporannnya, Lintar mengungkapkan, dalam bisnis investasi ini, terdapat perjanjian refund (pengembalian uang) yang setara dengan emas sekitar 2.000 gram . Begitu pula, kata dia, jika transaksi bisnis logam mulia dan mata uang asing ini gagal, maka korban Anggi akan mendapat pengembalian uang dari terlapor Renny Permata Sari.
“Namun, isi perjanjian itu tak pernah dipenuhi oleh terlapor sehingga korban menderita kerugian. Alhasil, kami laporkan sebagai tindak pidana,” tandasnya.
Mengenai skema bisnis piramida ini, dosen Institut Prasetiya Mulya Lukas Setia Atmaja, meminta masyarakat lebih waspada pada tawaran bisnis seperti ini. “Yang paling jelas adalah faktor keamanan dari aset kita yang dititipkan agar menuai imbal hasil tetap tersebut,” kata Lukas.
Sebagai contoh, jika investor menanam aset di reksadana, uang akan dititipkan di bank kustodian yang dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Sedangkan bisnis sistem piramida hanya bergantung surat kontrak.
“Sewaktu-waktu pengelola kabur dan membawa lari aset kita, tak ada jaminan emas kembali,” ungkap Lukas.
Model bisnisnya, kata dia, masuk kategori skema ponzi atau piramida. Menurut dia, sistem ini memang berpotensi macet. (Reza)