Keresahan masyarakat yang disebut Syaifullah Tamliha itu tampak dari reaksi kicauan Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon yang menyebut Partai komunis Indonesia (PKI) lewat akun Twitternya @fadlizon.
Kicauan Fadli ini membuat banyak kalangan bertanya-tanya. Pasalnya, PKI sudah lama dibubarkan. Tepatnya setelah peristiwa G 30 S/PKI pada 1965 lalu.
“Dari dulu PKI anti-Pancasila dan menolak kenyataan Proklamasi 17 Agustus 1945. Proklamasi itu dianggap revolusi yang gagal. Ini monumen saksi keganasan PKI,” kicau @fadlizon.
Fadli menyertakan sebuah foto prasasti dalam kicauannya. Dalam prasasti tersebut terdapat tulisan diberi judul “Akhir Jalan”. “Andai kami hari ini masih hidup, kami gemakan irama juang. Tapi kini kami telah tiada akibat keganasan pemberontakan di bulan September 1948. Ucapkan nama kami penuh ingat, tangisi nama kami penuh bangga. Biarkan tempat ini menjadi sunyi. Biarkan kami menjaganya. Teruskan jalan kami, jalan Pancasila. Kami hanya sampai di sini. Ngawi, 28 Oktober 1975”.
Kicauan Fadli yang diunggah, Sabtu, 23/5/20 Pukul 22.54 WIB. Ribuan netizen menanggapi kicauan Fadli dengan suka dan mengulang (retweet) kicauan itu. Harap maklum juga, mungkin pada 23 Mei itu ada yang mengicaukannya sebagau peringatan 100 tahun kelahiran PKI.
Toh dari sisi akademis, ahli hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), menilai TAP MPRS XXV Tahun 1966 layak menjadi landasan dalam pembentukan RUU HIP. Jimly yang pernah menjabat Ketua Tim Perancang TAP MPR 1/2003 dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa setelah TAP MPR 1/2003 terbit maka TAP MPR lainnya yang tersisa kedududukannya otomatis setara dengan UU dan dapat dilakukan uji materi di MK. Namun, TAP MPR No XXV Tahun 1966 tetap berlaku.
“Sehingga jika ingin digunakan untuk landasan pembahasan RUU yang berkaitan dengan ideologi Pancasila merupakan hal yang masuk akal. TAP MPR mengenai partai komunis ini kan masih tetap berlaku hingga saat ini,” paparnya.
Namun demikian, Jimly mengingatkan agar pembahasan RUU HIP sebaiknya dilakukan setelah Pandemi Covi-19 berakhir. Menurut dia, perumusan RUU HIP perlu diikuti oleh tingkat partisipasi publik yang lebih terbuka. Ia menyarankan, agar sebaiknya menghindari pembahasan RUU yang berisiko mendapatkan resistensi dari publik ditengah pandemi COVID-19.
“Tampaknya sulit di masa wabah Covid-19 seperti ini membahas substansi ideologi Pancasila. Oleh sebab itu, lebih baik DPR hindari dulu pembahasan substansial baru ideologi terkait Pancasila,” tandasnya. (Tim Liputan)