Reklamasi juga akan mengakibatkan kerugian total Rp13, 6 miliar per tahun bagi para pemilik tambak ikan. Kemudian 1.561 orang pedagang ikan akan rugi Rp119,4 miliar setiap tahun. Begitu pula 472 pengolah ikan yang akan rugi Rp46,2 miliar per tahun.
Dengan berbagai catatan itu, Parid mempertanyakan langkah Jokowi mengatur reklamasi dalam perpres baru. Dia menilai predikat “proyek strategis nasional” yang disematkan tidak tepat karena merugikan nelayan.
“Ada pertanyaan besar sebetulnya, apakah dengan dibangun proyek reklamasi nilai ekonomi akan lebih besar dari ekonomi perikanan selama ini?” ucap dia.
Sedangkan Anggota KSTJ dari LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora, berpendapat Perpres Nomor 60 Tahun 2020 telah melampaui kewenangannya karena mengatur kawasan perairan 0-12 mil di Teluk Jakarta. Menurut Nelson, kawasan tersebut seharusnya diatur melalui Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (KSN).
Selain itu, pemerintah dapat mengatur kawasan tersebut melalui Rencana Zonasi Wilayah Perbatasan dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K). “RZWP3K itu belum disahkan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Jadi ada pertarungan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Nelson.
Sebelumnya, Presiden Jokowi menandatangani Perpres Nomor 60 Tahun 2020 Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak dan Cianjur (Jabodetabekpunjur) pada April lalu. Reaksi pun mulai bermunculan.
Dalam aturan itu, empat pulau reklamasi, yakni pulau C, D, G, dan N masuk ke dalam golongan Zona Budi Daya 8 (Zona B8) di utara Jakarta. Pasal 121 beleid tersebut mengatur kegiatan yang diperbolehkan dan dilarang di atas lahan pulau reklamasi.
Sebenarnya ada banyak isu dalam Perpes itu. Paling tidak, yang dampaknya luas antara lain soal tata air dan banjir, ketersediaan air baku, kemacetan, permasalahan kawasan pesisir, pengaturan kawasan Pulau Seribu, dan antisipasi pemindahan ibukota negara. (wrn)