Belum 2 Bulan, Perpres APBN Mau Direvisi | Defisit Tambah Gede Pastinya

Foto: Ist

PIJAR | JAKARTA – Belum dua bulan ditandatangani, Perpres 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2020 akan direvisi. Bukan revisi yang menjadi soal utamanya, melainkan isi Perpres terkait melebarnya defisit APBN dari 5,07 persen menjadi 6,27 dari Produk Domestik Bruto.

Dengan pelebaran tersebut, pemerintah mengoreksi sendiri perkiraan pendapatan negara. Sedangkan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat menilai pemerintah telah gagal memprediksi salah satu indikator ekonomi penting itu.

Pepres 54/2020 merupakan ketentuan teknis yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan Covid-19 serta menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional serta sistem keuangan yang sudah disetujui oleh DPR RI.

Namun, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa Perpre akan direvisi dan hasilnya akan disampaikan ke parlemen. “Dengan situasi ini postur APBN 2020 akan berubah dari yang di Perpres 54/2020. Kami akan melakukan revisi Perpres dan menyampaikan ini ke Banggar dan Komisi XI DPR RI untuk presentasikan desain pemulihan ekonomi dan dampak postur APBN 2020,” kata Menkeu dalam konferensi pers virtual, Senin, 18/5/20.

Implikasi pelebaran defisit antara lain, pendapatan negara yang diproyeksikan dalam Perpres 54/2020 senilai Rp 1.760,9 triliun turun menjadi Rp1.691,6 triliun. Penerimaan perpajakan dipatok hanya mencapai Rp 1.404,5 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menjadi Rp 286,6 triliun.

Sedangkan dari sisi belanja negara, angkanya bertambah menjadi Rp 2720,1 triliun, dari sebelumnya hanya Rp 2.613,8 triliun. Untuk porsi belanja pemerintah sebesar Rp 1.959,4 triliun, sedangkan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) turun dari Rp 762,2 triliun menjadi Rp 760,7 triliun.

Di sisi lain, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) juga menjadi konsekuensi pemerintah. Di mana subsidi bunga Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) sebesar Rp 34,2 triliun, diskon tarif listrik enam menjadi Rp 3,5 triliun, serta bantuan sosial (bansos) tunai dan sembako yakni Rp 19,62 triliun.

Tak hanya itu, defisit APBN semakin lebar karena anggaran untuk menyuntik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar Rp 149,29 triliun. Jumlah anggaran tersebut merupakan alokasi dari subsidi, kompensasi, Penyertaan Modal Negara (PMN), dana talangan untuk modal kerja, dan bantuan sosial.

Tak ayal Anggota Komisi XI Mukhammad Misbakhun menyesalkan pelebaran defisit APBN. Menurut dia soal perubahan Perpres dan pelebaran defisit ini adalah pertanda Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) gagal membuat prediksi akurat tentang indikator ekonomi penting.

“Bu Menkeu dalam jumpa pers secara virtual Senin sore mengumumkan ada pelebaran defisit APBN menjadi 6,27 persen. Jadi defisitnya melonjak dari Rp852,9 triliun menjadi sekitar Rp1.028,5 triliun,” tandas Misbakhun.

Misbakhun yang berasal dari Partai Golkar juga mengungkapkan, sejak awal pemerintah memang belum bisa memprediksi dan belum mengeluarkan prakiraan biaya krisis atau biaya penyelamatan ekonomi yang menjadi acuan utama pemerintah. Acuan tersebut adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) itu.

Lantas Misbakhun juga mengingatkan, sebelum adanya pelebaran defisit APBN 2020, Sri Mulyani terlebih dahulu sudah gagal memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal I-2020 yang berada di level 4,5-4,7 persen. Ternyata, lanjutnya, rilis dari Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan ekonomi hanya 2,97 persen. (Ivan)

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *